Sepulang Kantor Anesya mengambil undangan Kanaya, tidak lupa ia membeli dua bungkus sate padang, setelah itu segera menuju apartemen Farrel. Anesya tersenyum keluar dari mobil, ia mendekati Farrel yang menunggu di depan pintu.
“Hai, Anesya, Maaf, ya, jadi ngerepotin kamu.” Farrel meraih kardus berisi undangan dari tangan Anesya.
“Santai aja, aku yang makasih banget, kamu izinin aku main ke sini. Di rumah sepi banget.” jawab Anesya dengan mimik manja.
Farrel tersenyum, ia masih canggung , Namun ia tahu akhir-akhir ini Kanaya sangat mengandalkan gadis di depannya, sehingga Kanaya bisa leluasa mengurus persiapan pernikahan mereka.
“Sebenarnya aku udah bilang sama Kanaya agar menyewa EO saja, tapi kamu tahu sendiri, kan, bagaimana watak Kanaya. Kalau sudah maunya susah di larang .” ujar Farel. Ia mengajak Anesya masuk dan melatakkan kardus undangan di pojok ruangan dekat jendela.
“Owh, gitu,… sory Rel, aku kira selama ini kamu yang nggak pedulian. Ternyata Kanaya yang ingin mengerjakan sendiri.” Timpal Anesya.
“Nah, kan, itu yang bikin aku kesal sama Kanaya. Kamu saja teman dekatnya salah paham, belum lagi orang tuanya. Padahal aku benar-benar nggak punya waktu. Aku nggak masalah juga kalau memang ingin menyiapkan sendiri acaranya, tapi mending acaranya di tunda beberapa bulan lagi, mungkin saat itu aku nggak terlalu sibuk, jadi bisa bantuin. Tapi Kanaya tetaplah Kanya, kalau sudah maunya nggak ada kata kompromi.” Farrel terlihat kesal.
Anesya termangu, lama ditatapnya pemuda berkulit coklat didepannya.
“Kalau aku jadi Kanaya, mending aku pakai EO, tinggal terima beres. Lagi pula Kanaya juga nggak kalah sibukkan di kantor?” Suara Anesya lembut sangat bersimpati.
“Itu dia, Nes. Padahal aku udah nyiapin budget untuk biaya EO. Aku takut dia dapat sanksi dari kantor, gara-gara sibuk ngurus pernikahan itu. Dan aku nggak mau kalau dia sampai berhenti kerja, Aku mau punya istri yang bekerja. Aku nggak suka punya istri pengangguran. Ujung-ujungnya dia malas merawat diri. Setiap hari dasteran. Kamu kebayangkan? Di luar sana wanita yang kutemui rapi, bersih dan wangi, sampe rumah ketemu istri dekil dan bau bawang.” Celotehnya Panjang lebar.
Farreel bicara dengan raut wajah kesal, seolah sedang menumpahkan segala uneg-unegnya.
Anesya tersenyum mendengar ocehan Farrel. Bagai dewi peri yang bijaksana, Anesya mendengarkan dengan seksama.
“Sory, ya, Nes, Kamu jadi kebawa-bawa. Aku harap kamu mau kasih masukkan ke Kanaya. Siapa tahu dia mau dengerin kamu.” Farrel menyalakan rokoknya, besandar di dinding samping jendela. Sesekali ia menoleh keluar, kota Jakarta terlihat indah di malam hari dengan lampu yang menerangi setiap sudut jalan.
“Santai aja, Rel. Nanti aku omongin pelan-pelan ke Kanaya, tapi aku nggak janji ya, Kanaya bakalan dengerin aku. Kamu aja calon suaminya nggak di dengerin apalagi aku yang Cuma numpang di rumahnya.” Ujar Anesya memasang wajah imut.
“Ohiya, ini aku bawaain sate padang, kamu udah pernah nyoba sate padang yang di dekat putaran Benhil? Enak loh,!” ujar Anesya sembari mencari rak piring.