Kanaya masih terlihat linglung, perjalanan tugas luar kota yang sangat menyita tenaganya, membuat ia pasrah menerima bantuan Anesya. Ia menghubungi Farrel, ia ingin menumpahkan semua unek-uneknya pada lelaki pujaannya saat makan siang nanti. Berkali-kali ia mencoba menghubungi nomer Farrel, tapi panggilannya tidak dijawab. Kanaya mematikan hapenya. Dihempaskannya tubuhnya di kursi. Matanya terpejam sesaat, mencoba mengatur ritma jantungnya yang tidak teratur. Kemudian diulanginya lagi menghubungi Farrel.
“Haloo ….” Suara Farrel terdengar di seberang sana.
“Farrel, kamu kemana aja sih? Kok baru diangkat?” grutu Kanaya sedikit ngambek.
“Apa lagi, sih. Nay? Kamu kan tahu aku lagi sibuk di kantor.” Jawab Farrel dengan nada yang menimbulkan tandatanya Kanaya.
Kanaya kenal betul watak Farrel, Ia bisa membaca suasana hati calon suaminya itu hanya dengan mendengar nada suaranya. Nada bicara Farrel seolah menyimpan unek-unek padanya. Memang belakangan hubungan mereka sedikit merenggang. Pasalnya Farrel ingin persiapan pernikahan mereka sepenuhnya diserahkan pada EO (Event 0rganizer), sedangkan Kanaya bersikeras ingin mengurus sendiri semuanya. Alasan Kanaya cukup sederhana. Ia ingin menghemat pengeluaran dan juga ia ingin pernikahannya benar benar berkesan sesuai keinginannya.
“Rel, nanti siang kita makan siang bareng, yuk! Aku mau curhat, nih!” pinta Kanaya.
“Ntar malam aja, ya, Nay! Siang ini aku ada janji, nggak enak kalau dibatalin mendadak.” Ujarnya meminta pengertian Kanaya.
“Oke, nanti malam kita ketemuan di kafe biasa, jangan telat!” Kanya meninggikan suaranya, ciri khas Kanaya kalau bicara dengan Farrel. Walau suaranya meninggi, tapi Farrel tahu, itu bukan bentakan tapi rengekan manja.
“Siap tuan putri.” sahut Farrel seraya menutup telphon.
Kanaya kembali melanjutkan pekerjaannya, merapikan laporan hasil kerjanya selama satu minggu di Surabaya. Ia mempercayakan sepenuhnya pada Anesya untuk menyelesaikan urusan Pak Iwan. Menurutnya itu bukan masalah besar, sebab kontrak mereka belum habis, masih dua minggu lagi, jadi masih cukup waktu untuk mengajukan perjanjian baru.
Di ruangan Exel, Anesya sedang berbincang serius. Ia menawarkan beberapa obsi yang bisa ditawarkan pada Pak Iwan sekaligus beberapa layanan tambahan, sebagai bentuk permintaan maaf perusahaan. Exel sangat kagun dengan cara kerja Anesya, dibanding Kanaya, Anesya jauh lebih briliyan, menurutnya.
Exel lupa semua jasa Kanaya yang banyak memenangkan tender. Ia lupa pada kegigihan Kanaya yang melobi perusahan raksasa menjadi klien mereka. Exel seperti tidak pernah kagum pada kerja Kanaya. Baginya saat ini Kanaya besar kepala, nge-bos-i, dan sering mangkir. Ini kesempatannya menekan pamor Kanaya yang sempat mendapat pujian dari CEO perusahaan tempatnya bekerja, pujian yang menurutnya mengancam posisinya, dan itu membuatnya tresah. Ia ingin memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk menyingkirkan Kanaya. Kehadiran Anesya serta kinerjanya yang jauh lebih baik dari Kanaya membuatnya rela melepaskan Kanaya.
“Nes, sepertinya posisi Kanaya lebih cocok buat kamu, saya sudah muak pada Kanaya. Hari ini juga saya akan berhentikan dia. Lagi pula, Pak Iwan sudah tidak mau berurusan dengan Kanaya, dan saya tidak mau ada klien lain yang kecewa dengan kinerja Kanaya.” ujar Exel berdalih.
Anesya hanya diam, wajahnya terlihat polos dan lugu.