Tapi langkahnya terhenti saat melihat sosok wanita yang sangat ia benci, Anesya. Ia duduk di samping Farrel dengan manja. Farrel keluar dari mobil dan menghampiri Kanaya.
“Kamu masih di sini? Sory, aku kira kamu sudah pulang.” Farrel terlihat kikuk.
Kanaya menatap Farrel penuh benci, giginya merapat, tangannya mengepal.
“Bajingan kamu Farrel, aku menunggumu dari siang hingga malam di sini, kamu malah bermesraan dengan perempuang gila itu.!” sergah Kanaya dengan sura bergetar.
“Jaga mulut kamu, Nay! Jangan karena keterpurukan membuatmu seenaknya bicara!” Farrel tidak terima Anesya dikatai gila.
“Owh, jadi sekarang kamu belaiin dia.?!!” bentak Kanaya, matanya mulai berkaca-kaca.
Farrel tidak menjawab, ia berpaling dari Kanaya menahan emosi.
“Oke, sekarang kamu pilih, aku atau dia?” lanjut Kanaya berurai air mata.
Farrel menatapnya, beberapa detik kemudian, “Sorry, Nay, aku pilih Anesya!” jawab Farrel menatap mata Kanaya.
Kanaya menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis agar tidak terdengar. Kakinya seolah tak sanggup lagi menopang tubuh, Kanaya jongkok sambil menahan tangis.
“Tega kamu Farrel! Tega kamu ninggalin aku disaat aku butuh kamu! Tega kamu memilih perempuan yang sudah menghancurkan hidupku! Kamu jahat Farrel, Kamu jahat …” isak Kanaya, membuat Farrel terhenyak, ada rasa tidak tega di hatinya. Anesya membaca gelagat itu, buru-buru ia menghampiri.
“Nay, Maafin aku, jika kehadiranku membuat kamu tersiksa, tapi aku terlanjur cinta sama Farrel. Aku nggak bisa hidup tanpa dia! Aku ingin mengabdikan hidupku padanya.” ujar Anesya dengan wajah memelas, ia juga jongkok tepat di depan Kanaya.
“Pergi kamu, perempuan gila!”
Kanaya yang sudah muak melihat Anesya, spontan mendorongnya hingga terjatuh.
Farrel buru-buru membantu Anesya, dan membiarkan Kanaya meratapi nasib.
“Kamu nggak papa, Nes? Ayo kita ke dalam.” Sesaat Farrel menoleh Kanaya sebel, lalu memapah Anesya masuk ke kamarnya.