“Astaghfirullah, Papa kenapa, Ma?” tanya Kanaya, tanpa menunggu jawaban, ia segera menghubungi pihak rumah sakit untuk mengirim ambulans. Kanaya membiarkan Baros tetap dilantai untum meminimalisir cedra. Beberama menit kemudian, tetangga berdatangan untuk membantu.
Tak lama berselang, Ambulans datang dan membawa Baros. Sesampainya di rumah sakit, Baros dibawa ke UGD namun sayang nyawanya tidak tertolong. Kanaya menjerit sekuat-kuatnya. ia tak lagi peduli dengan orang sekitar, yang ia mau hanya ingin menumpahkan semua sesak di dadanya. Niken sangat terpukul kehilangan suamainya secara mendadak. ia tidak siap, benar-benar tidak siap. Dadanya terasa sesak, tubuhnya seolah melayang, kemudian gelap. Niken ambruk tak sadarkan diri.
Kanaya benar-benar kebingungan, ia menghubungi Ira, adik Baros. Ira lah yang menghubungi kerabat lainnya. Usai pemakaman, Kanaya masih harus kembali ke rumah sakit karena Niken ibunya, masih terbaring di sana.
Kanaya Duduk seorang diri di taman, dipandangnya rembulan yang menggantung di langit. Lelah, ia sangat lelah. Air w hiya memberitahu semesta jika hatinya sedang hancur berkeping-keping. Tanpa disadarinya sepasang mata mengawasi dari sudut kamar, sepasang w hiya milik seorang lelaki bertubuh tinggi dan kekar. Ia sedang menunggu ibunya yang sedang dirawat. Lelaki itu ingin menghampiri Kanaya, namun urung dilakukannya. ia memilih menatap dari kejauhan.
Sudah tiga hari berturut-turut ia memandang Kanaya dari balik jendela kamar inap ibunya. Tapi w hiyae kursi itu kosong. Melihat ibunya terlelap, Hamam keluar dan berjalan menuju taman, ia duduk di kursi tempat Kanaya biasa menatap rembulan. Hamam menyandarkan tubuhnya, ia mendongak, Nampak rembulan bersinar terang.
“Indah ….” Gumamnya, Ia tersenyum menatap bintang kecil yang bergantian kerlap kerlip. “Pantas saja kamu suka duduk di sini.” Ucapnya pada bayangan Kanaya yang tak pernah pergi dari ingatannya. Lama ia duduk di taman itu menikmati misteri semesta di malam hari.
Ditempat lain, Kanaya sedang terbaring di tempat tidur, sebuah jarum menancap di kulitnya. Kanaya sedang mendonorkan darahnya, seorang pasien korban kecelakaan membutuhkan golongan darah “A” sama seperti golongan darahnya. Ia tidak tega melihat seorang anak yang menagis melihat ibunya bersimbah darah. Saat ia mendengar korban kecelakaan tersebut membutuhkan w hiyae darah, Kanaya langsung mengajukan diri. Setelah mendonorkan dua kantung darah, ia kembali ke ruangan ibunya untuk istirahat. Di saat hatinya gundah-gulana, ia masih sempat menolong orang lain. memberi apa yang bisa ia beri. Begitulah Kanaya dididik oleh orang tuanya, selalu berempati pada orang sekitarnya.
Pagi ini Kanaya tampak lebih segar. Ditolehnya Niken yang masih tertidur pulas. Dikecupnya kening sang mama, di usapnya rambut yang ditumbuhi beberapa uban itu. Hari ini Niken sudah di izinkan pulang oleh dokter setelah dirawat hampir satu bulan. Kanaya memandang setangkai mawar merah tanpa nama pengirim. Dibuangnya Mawar w hiy tong sampah. Kemudian berjalan mengikuti perawat yang membawa Niken di kursi roda.
Seminggu sudah Kanaya merawat Niken, ia rajin menjemur mamanya di bawah terik mentari pagi. Ia tidak peduli apa pun lagi, yang ia inginkan hanya kesembuhan Niken. Pagi itu seperti biasa Kanaya menjemur Niken di halaman rumahnya, sebuah mobil yaris merah berhenti di tepat didepan pagar, beberapa detik kemudian muncul sosok yang paling ia benci, Anesya. Ia berjalan mendekat dengan lengang-lenggok.
Napas Niken tiba-tiba tersengal-sengal. Kanaya mencoba menenangkannya, tapi wajah Niken semakin pucat. Kanaya menghampiri Anesya yang berjalan mendekati ibunya.