Adel menyarankan Kanaya agar pergi ke Psikiater, agar membantunya melepaskan energi negative dalam dirinya. Adel bisa merasakan betapa hancurnya hati Kanaya, dalam sekejap kehidupannya berubah. Sebenarnya Adel salut pada Kanaya, walau ia mengurung diri di kamar, tapi ia masih sanggup terus bertahan. Ia tidak tahu jika itu menimpa padanya, belum tentu setabah itu.
Keesokan harinya, Adel dan Dita mengajak Kanaya jalan-jalan, mereka pergi ke Bogor berburu kuliner. Senyum tipis Kanaya mulai tampak menghiasai wajahnya. Kanaya tidak ingin mengecewakan kedua sahabat terbaiknya itu yang telah menyempatkan diri menemaninya.
“Del, Dit, makasih banget, ya! Udah nemenin, Gue.” Kanaya menggenggam erat tangan Dita dan Adel, ketiganya saling berpelukan.
“Sama-sama, Nay. Tapi lo harus janji! Lo harus semangat seperti dulu lagi. Jangan biarkan Anesya mendikte, elo!” Adel antusias melihat Kanaya mulai ceria.
“Iya, gue janji.” Ikrar Kanaya pada kedua sahabatnya.
Setelah mengantar Kanaya kembali ke rumahnya, Adel dan Dita pamit pulang.
Hari hari berikutnya, Kanaya sibuk mengirim lamaran pekerjaan. Sudah hampir dua minggu ia mengirim lamaran via online, namun belum ada panggilan. Sore itu Adel menghubungi Kanaya, ia memberi info jika temannya butuh seorang marketing. Kanaya menyambut gembira kabar itu, ia pun bersedia melakukan test wawancara.
Tidak seperti dugaan Kanaya, Ternyata yang ikut wawancara bukan hanya dirinya melainkan ada sekitar dua puluh orang pencari kerja lain. Hari hampir sore, Kanaya masih mengantri untuk wawancara. Kanaya memilih bersabar demi mendapatkan pekerjaan, ‘siapa tahu rezeki,’ pikirnya. Akhirnya Kanaya mendapat gilirin di nomer urut terakhir. Setelah selesai wawancara Kanaya tidak langsung pulang, ia ingin melepas penat sejenak di Mall Taman Anggrek. Kanaya menyempatkan diri nonton bioskop, hingga pulang larut malam.
Kanaya mulai mengantuk, namun ia harus tetap mengemudi. Jalanan mulai lengang. Disebuah lampu merah, seseorang mengetuk kaca mobilnya, Kanaya menoleh. Ia tidak langsung membuka kaca, sesaat matanya mengamati lelaki di balik kaca mobil.
“Mbak, bannya kempes!” teriak laki-laki itu dari luar.
Kanaya gugup, feelingnya tidak enak. Kejahatan dilampu merah saat malam seperti ini, sering ia dengar dari teman-temannya. Walau penasaran ingin melihat ban kempes yang dikatakan lelaki itu, Kanaya memilih untuk tidak turun dari mobil, setelah lampu hijau, ia melaju mobilnya. Dua motor dibelakang mengikutinya. Kanaya menambah kecepata. Tiba-tiba mobil truk berputar di depannya, Kanaya mendadak menginjak rem, tapi kecelakaan tidak bisa di hindari. Untungya Kanaya tidak luka parah, orang-orang berdatangan membantunya.
Sebuah mobil CRV putih yang sedang melintas, meminggirkan mobilnya. Seorang pemuda bertubuh Atletis keluar dari mobil dan mendekati Kanaya yang masih di kerumuni masa. Lelaki itu terkesiap melihat Kanaya merintih kesakitan duduk di trotoar. Temaran cahaya bulan mengingatkannya pada gadis yang selalu duduk ditaman rumah sakit memandang rembulan. ‘Iya, dia gadis yang sama,’ bisiknya dalam hati. Bergegas ia menghampiri dan menawarkan bantuan.
Tak lama kemudian polisi datang dan mengamankan mobil Kanaya dan juga supir truk. Sedangkan Kanaya dibawa ke rumah sakit dengan mobil CRV putih. Kanaya terlihat menahan sakit, luka dikepala membuat darahnya mengucur dengan deras.
“Tahan sedikit, ya. Sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit.” Ujar lelaki itu.