Dret.... Dret.... Dret.. Suara getar ponsel menyadarkan Elisa dari tidurnya. Sayup-sayup terdengar suara Hendra berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Nada suaranya pelan tapi terdengar panik. Mata Elisa masih berat untuk terbuka karena masih sangat mengantuk. Tapi rasa penasarannya begitu tinggi hingga membuatnya mencoba sekuat tenaga memaksa tubuhnya bangun dari ranjang. Setelah beberapa saat terduduk diranjang Elisa menoleh pada jam dinding bulat bewarna putih di dalam kamarnya.
Waktu masih menunjukkan pukul dua lewat empat puluh lima menit. Subuh juga masih lama. Pertanyaan dikepala El sungguh penuh. Siapa yang menelepon pagi-pagi buta begini ? Apa yang sebenarnya terjadi ?
Belum selesai El berpikir dan nyawa belum terkumpul sempurna.
"Grubak" Suara keras pintu kamar menggagetkan El dan membuat matanya yang tadinya sayup menjadi terbuka lebar.
"Ada apa Mas ? Tanya El dengan ekspresi terkejut menatap suaminya yang saat itu terlihat sangat panik.
"Ayah unfall dek." ucap Hendra singkat sambil berjalan menuju lemari pakaian. Hendra membuka lemari dan meraih jaket yang tergantung di dalam. El masih bingung dan hanya melonggo karena tidak sadar dengan ucapan Hendra barusan.
Tubuhnya terasa kaku karna sangat terkejut. Ayah mertuanya memang punya penyakit jantung. Hanya saja beliau tidak pernah mengeluh apapun kepada anak-anaknya. Beliau selalu terlihat sehat dan bugar karena rajin berolahraga sehingga beliau sama sekali tidak terlihat sakit. Beliau juga selalu tersenyum dan terlihat bahagia tidak seperti orang sakit.
El turun dari ranjang dan menghampiri Hendra yang saat itu tengah memakai jaket biru dongker tebal.
"Terus gimana sekarang keadaan Ayah mas ? Ucap El panik." Hendra memegang bahu El dan berkata lirih untuk menenangkan istrinya yang terlihat begitu khawatir.
"Tidak apa-apa dek. InsyaAllah ayah pasti baik-baik saja. Kamu bantu doa dari rumah ya." Hendra tersenyum dan mencium kening Elisa.
Elisa sangat tahu bagaimana panik dan khawatirnya Hendra. Tapi dia juga tahu jika suaminya itu tidak mungkin menunjukkan kekhawatirannya itu didepannya. Hendra pasti tidak mau El menjadi khawatir. Dia selalu menunjukkan ketenagan meski dalam situasi sulit.
Setelah mengucapkan kata itu Hendra pergi meninggalkan El sendirian di kamar. Tapi belum sempat Hendra sampai pintu Elisa meraih tangan Hendra.
"Mas Aku ikut." Elisa bersikeras untuk ikut Hendra ke rumah sakit.
Hendra membalikkan badannya dan berkata dengan lembutnya pada El yang saat itu masih terlihat sangat lelah karena baru pulang jam satu malam pada acara pernikahan dari WO tempatnya bekerja.
"Ini masih larut malam dek. Udara diluar juga sangat dingin. Kamu nanti menyusul saja bersama Dika. Aku sudah ngubungi Dika tadi dan mereka akan menyusulku selepas subuh. Kamu di rumah aja nunggu mereka. Bersiap-siaplah bawakan mas baju ganti dan setelah mereka datang nanti bisa langsung susul kerumah sakit."
Dika adalah teman baik Hendra di kantor. Keluarga mereka juga sangat dekat. Kedua orang tua Hendra juga kenal baik dengan kelurga Dika. Sarah istri Dika begitu baik pada El dan juga Hendra. Tak jarang mereka datang berkunjung kerumah dengan membawa anak laki-laki kemarnya berumur 5 tahun yang begitu menggemaskan. Hal itu terkadang membuat El sedih dengan kenyataan bahwa sampai saat ini dia belum bisa menjadi seorang ibu. Karena Sarah sangat paham situasi El saat ini, terkadang Sarah berlama-lama main dikediaman Hendra agar El bisa lebih lama bermain dengan putra kembarnya itu.
"Grung" Suara motor Hendra sudah siap untuk berangkat terdengar dari dalam rumah. El yang baru menyadari kepergian Hendra langsung berlari ke depan rumah dan melihat Hendra berangkat.
"Hati-hati Mas." Teriak El kepada suaminya yang saat itu telah menjalankan motor metix putihnya untuk menuju rumah sakit.
Hendra mengendarai sepeda motor ke rumah sakit dalam suasana yang begitu dingin. Karena tidak tega dengan istrinya akhirnya dia menyuruh El berangkat bersama Dika dengan memakai mobil.
Saat itu udara sangat dingin karena rintik gerimis yang jatuh dari langit. Andai Mobil mereka tidak masuk bengkel mungkin El sudah ikut berangkat bersama Hendra. El benar-benar sangat khawatir dengan keadaan Ayah mertuanya.
Allahuakbar Allahuakbar... Allah...huakbar Allah...uaknar... Suara adzan subuh terdengar sangat jelas. Setelah Hendra pergi tadi El memang tidak tidur. Bagaimana dia bisa tidur sedang ayah mertuanya sedang berjuang disana.
Ketika mendengar Adzan subuh itu El segera bergegas mengambil air wudhu dan sholat sebelum Dika dan Sarah datang. Hari ini jum'at dan kebetulan tanggal merah jadi Dika dan Hendra tidak kerja.
Setelah selesai sholat subuh El memanjatkan doa dan memohon agar mertuanya sembuh.
"Bismillahirohmanhirohim. Ya Allah apa yang menjadi kehendakmu maka semua akan terjadi. Tapi hamba tahu bahwa engkau maha pengasih dan maha penyayang. Ya Allah angkatlah penyakit mertuaku. Berilah beliau kesembuhan dan kesehatan. Amin."
Elisa mengusap jawah dengan kedua telapak tangannya setelah selesai berdoa.
******
Elisa Pov.
"Sudah siap semuanya ?" Ucap Mas Dika ketika aku masuk kedalam mobilnya.
"Sudah mas." Ucapku pada Dika dibungku belakang bersama kedua anak kembarnya yang masih tertidur lelap. Sementara Mbak Sarah berada disamping Mas Dika.
"Kalau sudah kita berangkat. Bismilahirohmanirohom." Mas Dika menginjak gas mobilnya untuk menuju rumah sakit.
Belum lama mobil kami berjalan meninggalkan rumah ponselku bergetar dibalik saku jaket tebalku. Segera aku merogoh saku jaket dan mengambil ponsel didalamnya. Ternyata panggilan itu dari Mas Hendra.
"Assalamualaiku mas." Belum sempat aku bertanya tentang kondisi ayah kepada Mas Hendra aku mendengar suara rintihan pria diujung sana. Rintihan itu seperti suara keputusasaan seseorang akan suatu hal. Aku sangat khawatir saat itu akan keadaan di rumah sakit.
"Mas Hendra kenapa ? Mas Hendra nangis ? Ayah gimana keadaannya mas ?" Tanyaku dengan penuh rasa cemas.