JENDELA KACA

Meria Agustiana
Chapter #6

Lima

Sudah lebih dari tiga puluh menit aku dan mas Hendra menunggu di bandara. Menurut informasi sekitar lima menit lalu penerbangan dari Kalimantan sudah tiba. 

Aku sengaja izin kepada mbak Indah tidak masuk kerja karena kedatangan Bi Asih. Untung saja masalah klien kemarin sudah beres dan tidak ada masalah. Jadi aku bisa mendapat izin dari mbak Indah. Sedangkan Mas Hendra izin pulang lebih awal dari kantor dan langsung menuju Bandara. Mas Henda memilik posisi tinggi di kantornya jadi dia bisa mendapat izin dengan syarat tanggung jawab pekerjaannya harus selesai.

Setelah lama menunggu akhirnya tampak dari kejauhan sosok seorang perempuan mengendong bayi dengan membawa koper besar ditangannya. Sepertinya wanita ini sangat kerepotan karena barang bawaan yang banyak ditambah bayi mungil yang dia gendong.

Wanita itu tidak terlalu tinggi dan sedikit berisi. Dia memakai jaket jins biru dan rok hitam menutupi lututnya. Tidak lupa sepatu boots yang selalu ia kenakan bak bintang korea itu. Tampak kaca mata hitam bertengger dia atas kepalanya sedangkan anting ditelinganya tampak besar dan berkilau. 

Jelas wanita itu adalah bibi suamiku. Bibi memang selalu mencolok dalam setiap penampilannya. Gayanya selalu seperti ABG (anak baru gede) dan terkadang cara berpakaiannya gak nyambung dan terlalu berlebihan. Tapi itulah Bi Asih yang selalu ingin terlihat wow dan beda dari yang lain.

"Maaf sayang lama ya nunggunya ?" Nadanya sedikit ngos-ngosan yang mungkin keberatan dengan bawaannya atau keberatan dengan antingnya yang besar bak kapal Titanic itu. Bibi ini turun dari pesawat tapi keringatnya seperti atlit lari maraton.

Mas Hendra hanya tersenyum melihat ekspresiku dan meraih koper besar ditangan kiri Bibi. Setelah kami saling memandang dan menahan tawa kami mulai membantu Bibi yang sepertinya sangat kerepotan.

"Sini Bi biar Hendra bawakan." Bibi menyerah kopernya kepada Mas Hendra.

Kemudian aku susul dengan mengendong anaknya yang baru berusia 7 bulan itu. Walaupun aku mungkin tidak suka dengn Bibi ini tapi aku juga tidak tega melihatnya begitu kerepotan. Kemudian kami bertiga berjalan keluar dari bandara menuju mobil.

Sepanjang perjalanan Bibi banyak menceritakan perjalannanya tadi. Mas Hendra mendengarkan dengan sesekali tertawa kecil. Sedangkan aku lebih memilih sibuk bermain dengan Rara anak Bi Asih. Jadi aku tidak terlalu mengikuti cerita Bi Asih. Ocehan itu berhenti ketika kami mampir kesebuah swalayan untuk membeli keperluan Rara selama ada disini seperti popo, susu dan yang lainnya. 

Aku ikut masuk masih dengan menggendong Rara. Mas Hendra mendorong troli dan bibi memilih barang yang akan dia beli. Bibi berjalan didepan troli sedangkan aku dan mas Hendra ada dibelakangnya.

"Dek seneng gak jalan-jalan kayak gini." Tanya Mas Hendra saat aku sedang asik menggendong Rara.

"Maksud mas ?" Aku bertanya karena tidak mengerti arah pembicaraan suamiku.

"Ya belanja bareng kayak gini. Mas dorong troli dan kamu milih belanjaan sambil gendong dedek bayi." Mas Hendra tersenyum membayangkan semua itu.

"Oh... Ya seneng bangetlah mas. Gak cuma belanja bareng. Nanti kita bertiga liburan bareng dan jalan-jalan pakai motor bertiga tiap malam minggu." Aku tersenyum membayangkannya.

"Ya udah. Nanti malam usaha lagi yok." Aku melotot memandang Mas Hendra. Tapi dia malah tertawa cekikikan melihat ekspresiku.

Aku mencubit perut suamiku yang sedikit buncit itu karena kesel mendengar candaannya yang tidak tahu tempat. Meski suaranya lirih dan tidak ada orang yang mendengar tapi aku tetap malu dan khawatir ada yang mendengar.

Lihat selengkapnya