JENDELA KACA

Meria Agustiana
Chapter #9

Delapan

"Kamu gak mau mikirin lagi dek keputusanmu ?" ucap mbak Indah padaku ketika aku mengajukan surat pegunduran diriku. 

Jelas Mbak Indah sangat terkejut dengan keputusanku yang sangat tiba-tiba. Selama ini Mbak Indah sangat bergantung padaku karena dia sibuk mengurus kedua anaknya yang sudah masuk bangku sekolah dasar tersebut. Dia sangat sibuk karena anak keduanya harus masuk SLB (sekolah luar biasa).

Aku sangat salut dengan perjuangan Mbak Indah. Dia seorang single parent (orang tua tunggal) dengan dua anak yang masih kecil. Anak pertama Mbak Indah sudah kelas dua SD. Sedangkan anak keduanya penyandang autisme yang harus mendapat pengawasan lebih ekstra.

Suami Mbak Indah meninggal dalam kecelakaan pesawat dua tahun lalu. Saat itu aku menyaksikan betapa terpukulnya Mbak Indah atas kepergian suaminya. Tapi Mbak Indah adalah wanita hebat. Dengan dukungan dan bantuan seluruh keluarga dia bisa bangkit dan melupakan kesedihannya.

Sebenarnya manusia telah diberi ujiannya masing-masing sesuai kemampuaanya. Hanya saja terkadang kita melihat kehidupan orang lain lebih baik dari hidup kita. Kalau kata orang Jawa urep kui sawang sinawang (hidup itu pandang memandang). Apa yang kita pandang baik belum tentu baik dan apa yang kita pandang buruk juga belum tentu buruk.

"Kayaknya El udah yakin mbak. El juga udah bicarakan ini sama Mas Hendra dan Ibu." Tegasku pada Mbak Indah.

Mbak Indah datang menghampiriku yang saat ini duduk disofa panjang bewarna putih di dalam ruangannya.

"Kenapa mendadak gini sih dek ? Sebelumnya kamu gak ada ngomong sama mbak." Mbak Indah duduk disampingku.

"Sebenarnya gak dadak sih Mbak. El sudah lama kepikiran soal ini. Tapi El masih sayang dan betah sama kerjaan ini." Alasanku pada Mbak Indah.

"Kalau betah kenapa berhenti ?" Aku hanya diam tidak menjawab.

"Hem.. Kalau itu keputusanmu Mbak bisa apa ?" Mbak Indah diam sejenak

"Mbak pasti bakal kerepotan kalau gak ada kamu dek. " Lanjut Mbak Indah dengan nada sedih.

"Maafin El ya mbak." Aku memegang tangan Mbak Indah.

"Iya dek gak papa. Mbak sangat tahu bagaiaman posisimu sekarang. Tapi kapanpun kamu berubah pikiran kantor ini selalu terbuka lebar buat kamu dek." Aku mengangguk dan tersenyum pada Mbak Indah.

******

Setelah pulang dari kantor aku memutuskan untuk membeli beberapa bahan makanan untuk makan malam nanti. Saat ini aku berada di supermarket dekat kantor Mas Hendra karena supermarket ini cukup lengkap walaupun tidak begitu besar jadi aku memilih belanja disini. Lagipula ini adalah supermarket terlengkap sepanjang jalan yang aku lalui.

Arah jalan menuju rumah melewati kantor Mas Hendra. Sebenarnya Mas Hendra akan lebih cepat sampai jika lewat sini. Tapi karena kami selalu pulang bersama dia harus memutar jalan untuk menjemputku.

Aku turun dari taxi dan meminta supir taxi untuk menunggu sebentar karena aku tidak lama. Aku hanya akan membeli barang yang aku butuhkan dan seletah itu langsung pulang. Aku tidak pernah lama kalau belanja karena apa yang akan aku beli sudah tercatat diotakku.

Beberapa menit kemudian aku keluar dengan membawa kantong coklat berisi beberapa sayur dan buah. Belanjaku lumayan banyak hari ini karena aku akan memasak banyak untuk merayakan hari terakhirku bekerja. Sebenarnya ini tidak perlu dirayakan karena aku akan jadi penganguran. Tapi mungkin ini akan menjadi kabar gembira untuk ibu dan suamiku.

Sebelum masuk kedalam taxi mataku tertuju pada caffe diseberang jalan. Aku melihat sosok Mas Hendra yang sedang duduk dibalik kaca besar. Tampaknya dia sedang mendiskusikan sesuatu karena disana juga ada Mas Dika dan satu perempuan berbaju biru dongker. Wanita itu duduk disamping Mas Hendra jadi wajahnya tidak jelas karena terhalang Mas Hendra. Mungkin dia rekan kerja Mas Hendra. Suamiku ini memang orangnya sangat ramah dan memiliki banyak teman.

Awalnya aku ingin menghampiri karena ini jam makan siang. Tapi aku putuskan untuk pulang saja karena teringat janjiku pada Ibu kalau aku tidak akan lama. Lagipula aku tidak enak jika harus menemui Mas Hendra saat dia sedang bekerja. Aku hanya tidak mau dianggap sebagai istri posesif. Akhirnya aku putuskan untuk masuk kedalam taxi dan pulang agar bisa mempersiapkan semua hidangan sebelum Mas Hendra pulang.

"Ayo jalan pak." Ucapku pada sopir taxi.

******

Hendra Pov.

"Ayo Hend. Di caffe depan supermarket aja ya gak jauh. Males mau bawa mobil." Ajak Dika ketika jam istirahat sudah tiba.

"Iya bentar aku bereskan ini dulu" Jawabku sembari merapikan kertas diatas meja kerjaku.

"Lama banget sih Hen." Dika melirikku yang tengah memegang ponsel karena ada pesan dari El.

"Iya sebentar ini mau balas pesan El." Aku tersenyum dan dengan cepat membalas pesan El agar Dika tidak cerewet lagi.

Lihat selengkapnya