"Baik pak. Terimakasih atas pengertiaanya dan sekali lagi kami ucapkan permohonan maaf dan terimakasih yang sebesar-besarnya." Indah diam sejenak mendengar seseorang berbicara dibalik telepon.
"Baik pak. Selamat sore." Indah mematikan sambungan teleponnya dengan wajah bahagia. Dia langsung menemui El yang sedang membuat minuman hangat di dapur.
"Alhamdulilah dek pak Broto bisa atur ulang jadwalnya. Mbak jadi lega banget." Indah meletakkan ponselnya diatas meja dan hendak mengambil piring untuk mengambil kue.
Indah mengambil piring kecil dilemari atas dan menoleh kearah El karena tidak mendapat respon.
El tampak sedang mengaduk teh panas dengan tatapan kosong. Meski dia berusaha untuk baik-baik saja tapi tetap saja semua kejadian dalam rumah tangganya selalu mengganggu pikirannya.
Elisa tidak padat melupakan atau bahkan membuang jauh-jauh pikiran itu. Elisa selalu teringat saat dia sendirian dan dia tidak bisa menampik semua pikiran negatifnya. Ingin rasanya melupakan dan membuang jauh pikiran itu. Elisa ingin bersikap cuek dan seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi Elisa adalah wanita biasa yang memiliki perasaan yang begitu lembut dan mudah tersentuh.
Elisa tetap mengaduk teh panas didepannya yang gulanya sudah larut sedari tadi. Indah menutup rek dan mulai berjalan mendekati Elisa.
"Dek... Dek..." Indah memanggil El yang ada didekatnya dengan lirih. Tapi sepertinya El masih sibuk dengan pikirannya sendiri yang membuatnya tidak menyadari kehadiran Indah.
Indah mulai khwatir dengan El karena sama sekali tidak meresponnya. Indah mencoba menyadarkan El dengan menyentuh bahunya. Namun karena Elisa yang tidak fokus membuat El kaget meski Indah menyentuhnya dengan pelan.
"Dek." Indah menyentuh pelan pundak Elisa.
Elisa yang tidak fokus langsung kaget dan tangannya menyenggol gelas berisi air panas yang mengenai tangannya.
"Aduh." Elisa memegang tangannya yang terasa panas karena tumpahan air panas dari teh yang baru saja air panasnya dituangkan.
"Yaampun dek." Indah tampak kaget melihat reaksi El dan panik melihat tangan El mulai memerah. Indah begitu panik melihat El yang tampak kesakitan. Seketika suasana dapur menjadi ramai dan berantakan.
Indah menggeret El dan meletakkan tangan El dibawah kran wastafel cuci piring. Indah memutar kran dan air mulai mengaliri tangan El. Aliran air membuat rasa panas ditangan El mulai berkurang.
"Yaampun dek kamu mikirin apasih kok sampai kena air panas." Indah meniup tangannya El dan El memperhatikan Indah dengan wajah sedih.
Sejenak hening namun tiba-tiba tangisan El pecah. Elisa menanis sejadi-jadinya. Indah tampak bingung melihat perubahan sikap El yang begitu aneh. Selama dia mengenal El dia tidak pernah melihat El menangis seperti ini apalagi hanya masalah tersiram air panas.
"Lho kok nangis dek ? Panas ya ? Bentar ya mbak carikan obat luka bakar dulu. Tunggu." Indah bergegas mencarikan obat luka bakar untuk El dikotak obat miliknya.
Elisa menangis sebenarnya bukan karena tangannya tersiram air panas. Luka pada tangannya tidak sebanding dengan luka pada hatinya yang begitu perih. Elisa selalu mengingat dan suara ibu mertuanya terdengar jelas pada tilinganya. Elisa ingin sekali menghapus semua dari ingatannya tapi dia juga tidak mampu untuk melakukannya.
Hati Elisa begitu perih mengingat setiap apa yang dia dengar selama ini. Mungkin selama ini di bisa bertahan dan menahan semua beban dalam pikirannya. Tapi perkataan ibu yang bahagia bersama Nara dan ide Bibinya yang ingin menjodohkan suaminya dengan wanita lain membuat hatinya begitu sakit. Elisa begitu rapuh seperti kaki tak bertulang yang siap jatuh kapan saja.
Elisa menangis dan memegang dadanya yang begitu sesak. Hati dan dadanya mendapat luka bersamaan yang membuatnya sulit untuk bernapas. Luka pada tangnnya sudah tidak bisa dia rasakan sampai tangannya sudah terlihat memerah meski air terus mengaliri luka ditangannya.
Indah datang dengan setengah berlari membawa kotak obat menghampiri Elisa yang masih saja menangis diwastafel.
"Ayo sini dek." Indah menuntun Elisa untuk duduk pada kursi meja makan. Elisa duduk dan tetap menangis meski sudah lebih tenang.
"Yaampun dek. Kok bisa kayak gini sih. Tahan sebentar ya mbak keringkan dulu." Indah mengeringkan tangan El dengan handuk putih lembut sembari meniup tangan El agar tidak terasa panas. Elisa masih saja menangis meski dia sudah berusaha untuk menahannya. Elisa menghapus air mata dengan tangan kanannya yang tidak luka sembari melihat Indah mengoleskan obat luka bakar pada tangannya.
"Sudah dek. Semoga lukanya gak melepuh." Indah meniup-niup tangan El. Kini tangisan El sudah berhenti meski isakannya masih terdengar. Indah meletakkan obat oles dimeja dan memandang El dengan intens. Indah kemudian berdiri dan mengambil segelas air putih untuk El.
"Ini dek diminum dulu." Indah memberikan segelas air pada El kemudian duduk. El meminum habis air dalam gelas. Ternggorokannya terasa sangat kering dan serak akibat dia menangis. Setelah air habis Elisa meletakkannya diatas meja. Mereka berdua diam sejenak untuk menetralkan pikiran. Elisa hanya menundul dan Indah memandang El namun tidak berkata. Indah seakan memberikan waktu untuk El agar lebih tenang karena dia tahu hal itu yang saat ini El butuhkan.
Setelah keadaan sudah mulai tenang dan El juga sudah berhenti menangis Indah mulai buka suara untuk mengkonfirmasi pada El apa yang sebenarnya terjadi.
"Sekarang kamu ceritakan semua sama mbak apa yang sebenarnya terjadi." Indah mengajukan pertanyaam dengan penuh hati-hati. Elisa masih tidak merespon pertanyan Indah.
"Dek mbak itu tahu banget kamu gimana. Kita itu sudah kenal gak cuma setahun atau dua tahun. Mbak tahu kamu gak mungkin nangis kayak gini cuma karena kesiram air panas." Elisa masih tetap menunduk membuat Indah mendekat dan memeluk wanita yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri itu.
"Kamu bisa cerita apa saja sama mbak dek. Mbak janji akan jadi pendengar yang baik. Katakan saja jika hal itu membuatmu lega." Ucap Indah dalam pelukannya. Setelah mengucapkan itu Indah melepas pelukannya dan memegang kedua pundak Elisa.
"Tapi kalau memang kamu gak mau cerita mbak bisa ngerti kok. Tapi kapanpun kamu mau cerita mbak siap dengarin." Indah tersenyum dan berdiri untuk membereskan obat yang ada diatas meja. Indah tidak ingin memaksa El untuk cerita jika dia tidak mau bercerita. Memaksa dalam situasi ini juga bukan solusi yang tepat karena akan semakin membuat El tertekan.
Ketika Indah memasukkan satu persatu obat kedalam kotak Elisa memegang tangannya dan memandang dengan tatapan sayu.
"El mau cerita sama mbak." Indah hanya diam mendengar ucapan El.