Hujan.
Riana benci hujan. Apalagi jika tidak membawa payung seperti sekarang. Dia mempercepat langkah agar segera sampai di rumah. Ah, padahal tadi cuaca cukup cerah, tapi awan hitam bergerak cepat menutupi langit dan kini mengancamnya dengan muntahan jutaan kubik air.
Dia memperbaiki letak tali tas di bahunya yang sedikit melorot, napasnya agak terengah karena berjalan cukup jauh. Andai dia tidak lupa membeli biskuit pesanan Zia, dia bisa meminta taksi online langsung mengantarnya hingga ke depan rumah, bukan toko di depan gang.
Dia bernapas lega ketika berbelok ke halaman. Syukurlah, hujan masih enggan turun. Tak terbayang rasanya jika hujan turun saat dia masih berada di jalan.
Namun, langkahnya agak melambat, matanya menyipit saat melihat sebuah mobil terparkir di depan rumahnya. "Mobil siapa?" gumamnya sambil masuk ke halaman dan naik ke teras.
"Berkasnya belum lengkap." Riana mendengar suara suaminya di ruang tamu.
"Izin isteri pertama. Kamu belum memberitahu Riana?" suara seorang laki-laki yang dia kenal. Dani, sahabat karib suaminya.
Izin istri pertama? Kalimat itu membuat langkah Riana terhenti. Dia urung masuk dan menyapa tamunya. Tubuhnya menegang.
"Belum. Aku belum menemukan waktu yang tepat."
Jawaban suaminya membuat kaki Riana goyah. Dia bersandar ke birai teras agar tidak ambruk. Apa yang mereka bicarakan? Apa maksud suaminya? Izin isteri pertama, bicara padanya, waktu yang tepat?
Satu sisi hati Riana membisikkan sebuah kata, tapi segera ditepis oleh sisi hatinya yang lain. Tidak mungkin, Mas Bowo tidak akan mungkin membagi cintanya. Riana tahu persis kalau Mas Bowo mencintainya. Hubungan yang mereka jalin sejak kuliah, lalu pernikahan mereka yang sudah berjalan tujuh tahun. Riana yakin dia tahu persis siapa suaminya.
Lagipula, mereka biasa terbuka satu sama lain, tak ada satu hal pun yang disembunyikan. Tak mungkin Riana tidak tahu jika suaminya dekat dengan wanita lain.
Namun, obrolan barusan?
"Lalu bagaimana? Katanya kamu akan menikahi Sena dua minggu lagi. Jadi berkasnya harus segera selesai. Pernikahan kedua prosedurnya tidak seperti pernikahan pertama."
Sena? Pernikahan kedua? Oh! Cukup sudah! Riana menarik napas dalam-dalam, lalu memantapkan langkahnya masuk ke ruang tamu.