"Maafkan aku," ucap Bowo lirih, tangannya terulur hendak menggenggam jemari Riana, tetapi urung. Istrinya itu segera menarik tangannya saat ujung jari mereka bersentuhan.
Akhirnya dia membicarakannya dengan Riana. Niatnya, serta alasannya. Dia sudah bersiap dengan segala konsekuensinya, andai istrinya murka sekalipun, dia akan menerimanya. Dia tahu dia yang salah.
Namun, Riana bergeming alih-alih marah. Dia hanya menatap Bowo dengan pandangan yang sulit diartikan, lalu berpaling ke jendela. Mulutnya terkunci rapat. Tak ada suara atau ekspresi yang menunjukkan bagaimana perasaannya saat itu.
Reaksi istrinya tentu membuat Bowo semakin frustasi. Dia siap jika Riana meledak, dia bersedia menerima caci maki seperti apa pun. Andai Riana menampar bahkan meninjunya, dia tidak akan melawan. Namun, dihadapkan dengan sikap diam Riana, Bowo benar-benar mati.
"Maafkan aku," ucapnya lagi, berharap semakin sering dia mengucapkannya, Riana akan sudi memandangnya.
Riana mengabaikan ucapan suaminya. Dia lebih senang menatap taman yang berada di luar jendela, dibanding melihat Bowo yang berlutut di hadapannya. Sekuat tenaga ditahannya air mata yang hampir tumpah. Tidak, lelaki itu tidak boleh melihatnya menangis. Suaminya yang harus menangis karena sudah menyakitinya.
Bowo menghela napas, dia mengerti betul bagaimana perasaan isterinya. Andai bisa, tentu dia berharap tak ada orang ketiga dalam pernikahannya. Tapi dia bisa apa? Semua terjadi tanpa bisa ditolak. Ah, andai dulu dirinya bisa lebih berani.
"Sejak kapan?" pertanyaan itu melucur dari mulut Riana, setelah sekian lama tak ada yang bicara.
Hening, tak ada jawaban dari suaminya.
Riana mengalihkan pandangan dari jendela. Nanar ditatapnya Bowo yang menunduk. "Berapa lama kalian menjalin hubungan?" ulangnya. Dadanya mendadak sesak saat tak menemukan jawaban dari Bowo. Apakah sudah begitu lama hingga suaminya tak bisa menjawab?
"Berapa lama? Setahun? Dua tahun?" suara Riana bergetar. Dia menekan emosi hingga dadanya seakan mau meledak.
Andai caci maki itu diperbolehkan, andai dia bisa melayangkan tangannya kepada suaminya. Ah, bahkan dalam keadaan begini pun, rasa hormatnya masih bisa menahannya melakukan hal-hal buruk.
"Dia suamimu, surga nerakamu," Kalimat Mama mendadak terngiang di telinganya. Meski dia ragu, apakah suami yang menyakiti istrinya masih pantas disebut suami? Bukankah suami adalah pelindung istri, orang yang menghapus gundah dan air mata istrinya. Lantas, jika dia sendiri yang menciptakan air mata bagi istrinya, apa sebutan suami masih layak dia terima?