JENDELA KEDUA

Vina Sri
Chapter #4

Keempat

Mendung.

Awan hitam menutupi langit, membuat cahaya matahari hanya serupa pelita kecil di tengah malam. Lihat, bahkan alam pun tidak berpihak padanya. Langit seolah tak mengizinkan dia pergi saat ini.

Riana mendesah, diliriknya koper kecil di dekat kakinya, lalu kembali memandang langit yang makin gelap lewat kaca jendela. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi. tangannya memilin-milin ujung pashmina biru laut yang dia kenakan. Apakah dia cari tempat terdekat saja, agar tidak keburu hujan?

Lewat ujung mata, dia menangkap sosok Mama mendekat dan duduk di sebelahnya. Riana membiarkan Mama duduk diam memperhatikannya. Meski dia bisa menangkap niat Mama yang ingin bicara dengannya, Riana tak ingin memulainya lebih dulu.

"Mama tahu kamu kecewa," akhirnya Mama buka suara, setelah Riana bergeming sekian lama. "Tapi kamu harus yakin tak ada niatan Bowo untuk menyakitimu," lanjutnya.

Riana mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ingin rasanya dia membantah kata-kata Mama. Tidak mau menyakiti? Yang benar saja! Tapi ditahannya hingga dadanya sesak. Oh, andai langit tidak menakut-nakutinya dengan hujan, tentu dia sudah pergi sedari tadi.

Tidak. Riana bukan hendak pulang. Dia masih ingin menjauh sementara dari Bowo. Namun, dia juga sudah tidak ingin berlama-lama di rumah orangtuanya. Alih-alih mendapat ketenangan dan dukungan, lukanya semakin dalam.

"Bowo sudah mengatakan alasannya pada Mama. Kenapa dia harus menikahi Sena. Sebenarnya dia juga ingin memberitahumu, tapi ...."

"Apakah ada bedanya aku tahu atau tidak?" tukas Riana pedih. Setitik air menetes dari matanya tanpa bisa dia tahan. Riana merasa dikhianati. Bukan saja oleh Bowo, suaminya, tapi juga oleh keluarganya sendiri.

Mama tidak berkata lagi. Sama seperti Marini, dia kehabisan kata untuk meyakinkan Riana. Dia tahu, kekecewaan Riana begitu dalam.

Tanpa sadar dia mendesah. Sedikit atau banyak, dia ikut andil dalam masalah ini. Andai dulu dia tidak merestui kebohongan itu. Andai dulu dia menolak, Riana tidak akan menderita seperti ini. Namun, siapa yang tahu, dia tidak menyangka Appa akan memberikan wasiat seperti ini.

Mama menatap awan hitam yang bergulung-gulung. Ingatannya perlahan kembali ke hari itu. Saat Bowo datang membawa kabar yang membuat langitnya serasa runtuh.

Hari itu langitnya sama seperti sekarang. Awan hitam memenuhi langit, tanda hujan akan datang sebentar lagi.

Lihat selengkapnya