JENDELA KEDUA

Vina Sri
Chapter #5

Kelima

Suasana Taman Medina cukup sepi. Penginapan di pinggiran Kota Sukabumi itu memang tidak terlalu ramai dikunjungi. Itu salah satu alasan Riana memilihnya untuk tempat menyepi. Lagipula suasananya yang hijau dan asri cocok untuknya berpikir.

Sambil memperhatikan Ziya dan Gibran bermain ayunan, Riana duduk bertopang dagu. Di hadapannya secangkir teh manis hangat sudah mulai mendingin. Diabaikannya ponsel sebelah piring berisi roti bakar, berbunyi berkali-kali, Mama, Marini dan Bowo menghubunginya bergantian. Biar. Biar saja mereka kalang kabut mencarinya.

Siang itu, Riana akhirnya berani menantang hujan untuk pertama kalinya. Dengan sebuah taksi online, dia meninggalkan rumah orangtuanya. Membiarkan Mama dan Kak Marina yang terpaku di teras rumah. Hujan turun deras saat ia dalam perjalanan menuju penginapan. Dia memberikan payung pada anak-anaknya, lalu berjalan menembus hujan menuju lobi.

Untuk kali itu, Riana bersyukur hujan turun. Air hujan telah menyamarkan air matanya yang tumpah. Dia mengelak ketika anaknya bertanya kenapa dia menangis, "Ini air hujan," elak Riana sambil mengusap mukanya berkali-kali, meredakan tangisnya. "Sudah, mandi dan ganti baju, ya. Setelah itu kita makan." Riana mendorong Gibran ke kamar mandi dan membiarkan Ziya mengeringkan rambutnya. Malamnya, saat anak-anaknya telah tidur, untuk pertama kali dalam sejarah pernikahannya, dia menangis. Dia bisa menegarkan diri di hadapan Bowo, kakak, maupun mamanya, kini, saat sendirian, menyaksikan kedua anaknya terlelap, dirinya merasa nelangsa dan air matanya mendadak tak terbendung. Riana tergugu semalaman. Dia tidak sekuat harapannya.

Pagi harinya, Riana menemukan puluhan panggilan tak terjawab di ponselnya. Tak lama, panggilan itu bertambah dari kakak dan ibunya. Riana memang tidak mengatakan ke mana dia akan pergi, itulah sebabnya mereka mengira Riana pulang. Dia menebak pagi itu Bowo menelepon kakak atau orangtuanya, dan mereka baru sadar dirinya hilang. Karena itu kini ponselnya berbunyi tiada henti.

Sembari malas, Riana meraih cangkir teh dan menyesap isinya. Rasa hangat mengalir dari mulut, ke tenggorokan dan berakhir di perutnya yang kosong. Riana memang belum mengisi perutnya sejak semalam. Nafsu makannya hilang begitu saja. Pun saat tadi dia memesan roti bakar, makanan favoritnya, dengan harapan agar bersemangat makan, nyatanya kini dia hanya menatapnya tanpa selera.

"Ri," terdengar sebuah panggilan disusul sesosok wanita bergamis ungu tua, yang langsung duduk di hadapan Riana. Sumayya, teman karibnya.

Tadi pagi, Riana memang menghubunginya. Dia berharap Sumayya bisa mengerti dirinya, setelah keberpihakan keluarganya pada Bowo, Riana tidak ingin dikhianati lagi.

"Aku harus bagaimana?" tanya Riana setelah ceritakan masalahnya.

Sumayya menatapnya dalam, menepuk-nepuk punggung tangannya di atas meja. Tapi tidak ada kata yang terucap. Sepertinya dia bingung hendak bicara apa.

Lihat selengkapnya