Seorang pelayan mengantarkan secangkir teh hangat dan setangkup roti isi, Sumayya mengucapkan terima kasih dan meraih cangkir tehnya. Riana menatapnya lama, menunggu jawaban. Ziya mendekat dan mencomot roti bakar, lalu menggigitnya sedikit. Riana mengusap lembut kepala anaknya dan membisikinya agar makan sambil duduk. Ziya menurut, setelah menelan kunyahannya, dia minum dan kembali berlari ke kakaknya.
"Aku kenal siapa Bowo," ujar Sumayya sambil menatap punggung Ziya yang menjauh. "Dia sangat mencintaimu sejak dulu."
"Lalu?" tuntut Riana. Dia tahu itu, dia tahu suaminya teramat mencintainya, tetapi bukankah cinta bisa berubah? Lantas, apa yang membuat cinta Mas Bowo berubah?
"Kamu tahu siapa wanita itu?"
Riana mengangguk, "Sena," jawabnya pendek.
Mata Sumayya melebar, "Sena yang itu?"
Riana menangguk getir. Siapapun pasti terkejut, begitupun dirinya. Apa istimewanya Sena, hingga suaminya berniat menikahinya?
Ingatan Riana dipenuhi wajah Sena. Dia mengenalnya sejak lama, sejak dirinya pertama kali diajak ke rumah Bowo. Sena ada di sana, dia cekatan menyiapkan penganan untuknya. Wajahnya terlihat ceria, sama seperti wajah keluarga Bowo yang lain. Bowo mengenalkan Sena padanya. Dia asisten rumah tangga ibunya.
Riana menyukai Sena sejak pandangan pertama. Wajahnya yang manis, senyumnya yang khas, membuat semua orang ingin ikut tersenyum bersamanya. Tingkah lakunya yang sopan, kelewat sopan bagi Riana hingga sempat membuatnya canggung, apalagi Sena selalu melayani semua keperluannya, Riana seolah jadi anak emas.
"Ih, nggak boleh gitu, Teh Riana kan istri Kang Bowo, udah, duduk aja. Biar saya yang nyuci piring," cekatan dia mengambil alih piring dari tangan Riana.
Saat itu Riana tertawa, "Memangnya seorang istri nggak boleh cuci piring?" protes Riana
"Boleh, sih, tapi kan di sini ada saya, kerjaan saya ya begini, kerjaan Teteh, nemenin Kang Bowo," dia mengedipkan sebelah matanya, membuat Riana terkikik geli.