"Mungkin Mas Bowo memang mencintai Sena sejak lama," ucapan Riana terdengar seperti bisikan. Ada isak tertahan dalam suaranya. Dia mengalihkan pandangan ke arah anak-anaknya yang masih asyik bermain, mencoba menghalau air mata yang hendak menderas.
"Tidak mungkin," bantah Sumayya, "aku kenal Bowo, dia tidak mungkin mengkhianatimu. Kamu ingat kejadian dulu? Dia memilih resign untuk menjauhi atasannya yang suka padanya."
Riana menunduk, dia ingat kejadian itu, saat Bowo mengatakan hendak berhenti karena risih akan perlakuan atasannya yang baru. Namun, itu karena Mas Bowo tidak menyukai atasannya itu. Berbeda dengan Sena. Mereka kenal sejak kecil, berteman bahkan tinggal serumah. Bukankah cinta bisa hadir karena seringnya pertemuan?
"Lalu, apa rencanamu?" tanya Sumayya lagi.
"Entahlah," Riana menunduk. Terus terang, dia tidak bisa mengartikan perasaannya. Dia marah, tentu saja, tapi juga sedih. Namun, di sisi lain hatinya terhina. Riana enggan untuk mengakhiri hubungannya dengan Bowo, namun juga tak terbayang untuk berbagi.
Untuk kesekian kalinya Riana menghela napas. Diperhatikannya anak-anaknya yang masih asyik bermain, tak terganggu dengan persoalan orang dewasa di sekitarnya. Ah, indahnya jadi kanak-kanak ucap Riana dalam hati.
Matahari mulai meninggi, namun sinarnya masih enggan keluar sempurna. Sisa-sisa hujan kemarin malam masih terasa, tanah basah, udara segar, dedaunan tengadah menangkap sinar matahari. Anak-anaknya tak terlihat akan berhenti bermain. Di depannya, Sumayya menatap jauh ke depan. Entah berapa lama mereka berdiam diri, tak ada yang berniat bicara lebih dulu.
Diam-diam Riana memperhatikan sahabatnya itu. Dan rasa iri menyelusup begitu saja. Alangkah beruntungnya Sumayya, meski belum dikaruniai anak hingga usia pernikahan yang menginjak lima tahun, tapi dia tidak pernah melihatnya bersedih. Abid, suami Sumayya juga tak pernah menuntut istrinya untuk segera mengandung. Mereka selalu terlihat harmonis. Padahal, dulu Riana meragukan kelangsungan pernikahan mereka.
"Mana mungkin menikah tanpa diawali rasa cinta?" Riana tertawa ketika suatu hari Sumayya memberikannya sebuah undangan.
"Cinta akan hadir setelah menikah," jawab Sumayya sambil tersenyum. Diletakkannya undangan di atas meja, lalu duduk di hadapan Riana.
Riana mendengus, jawaban Sumayya terlalu naif baginya. Bagaimana mungkin kita bisa hidup dengan seseorang yang tidak pernah ada dalam hati kita sebelumnya.
"Apa tujuanmu menikah?" tanya Sumayya.
"Membangun rumah tangga dengan orang yang kita cintai sepenuh hati." Riana mengangkat dagunya. Dia yakin itu tujuannya menikah dengan Bowo. Dia mencintai Bowo, begitupun sebaliknya. "Kamu?" dia balik bertanya.
"Menikah itu ibadah, aku menikah karena Allah yang memerintahkanku untuk menikah, dengan contoh Rasul-Nya yang mulia."
"Tapi bagaimana mungkin kamu menikahi seseorang yang tak kamu kenal?" tuntut Riana. Ah, Sumayya terlalu polos. Bagaimana bisa dia percaya seorang pria hanya dari beberapa lembar biodata.
"Insyaallah aku mengenalnya. Sebelum menikah aku mencari tahu siapa dia, keluarganya, sifatnya, kegiatannya. Mungkin masih banyak yang tak kuketahui, tapi Allah yang membuatku yakin untuk menerimanya."