Bowo bergegas menyalakan motornya. Sukabumi-Cianjur cukup dekat, kurang lebih satu sampai dua jam menggunakan sepeda motor.
Dia meminta Sena menemuinya di alun-alun. Mereka tentu tidak bisa membicarakan masalah ini di rumah Ibu, meskipun ibunya tahu masalah yang sedang dia hadapi.
Setelah memarkir motor, Bowo mengambil ponselnya hendak menghubungi Sena. Namun urung, matanya menangkap sosok perempuan berjilbab biru laut yang baru saja masuk gerbang Alun-Alun. Sena.
Sena bernapas lega saat Abdul hanya mengantarnya hingga masjid Agung. Sena perlu perlu sedikit berjalan agar sampai di alun-alun. Dia tahu, Abdul pasti sungkan jika bertemu Bowo kali ini. Sejak dia tahu masalah antara Sena dan Bowo, Abdul memang mengambil jarak dari majikannya itu. Entah apa sebabnya.
Sena langsung duduk di salah satu bangku taman begitu melihat Bowo mendekat. Bowo mengikutinya, duduk di hadapan Sena, terhalang sebuah meja. Sena tidak memandang ke arah Bowo dia lebih suka memperhatikan keramaian di sekitarnya.
Suasana alun-alun memang sedang ramai. Wajar saja, hari ini akhir pekan, banyak penduduk yang berekreasi untuk melepas penat setelah hari-hari sebelumnya disibukkan dengan bekerja.
Pandangan Bowo terbentur pada anak lelaki kecil yang dituntun seorang pria paruh baya, mungkin ayahnya. Di belakang mereka, perempuan dengan bayi dalam gendongannya, mengikuti langkah-langkah anak dan suaminya. Si anak lelaki kecil sesekali menengok ke belakang, berbicara dengan sang ibu.
Mendadak Bowo teringat pada Riana. Saat Ziya masih bayi, mereka juga kerap berjalan-jalan di taman seperti mereka. Hampir setiap pekan. Mereka akan mengitari lintasan lari di Lapang Merdeka, lalu turun menuju alun-alun. Di sana mereka akan membuka bekal makanan yang dibawa dari rumah. Riana pandai membuat penganan kecil untuk mereka. Setelah matahari tak lagi bersinar malu-malu, dan bekal habis, barulah mereka pulang.
Lalu dia dipromosikan dan semakin sibuk. Riana juga turut sibuk saat butik kecilnya mulai berkembang. Tiba-tiba anak-anak tumbuh dengan cepat tanpa bisa dicegah, dan mereka nyaris melupakan agenda berjalan-jalan setiap akhir pekan.
Ah, ingatan itu membuat Bowo nelangsa. Tanpa dia sadari, kenangan itu membuatnya rindu pada kehidupannya dulu. Rindu pada Riana.
"Ada apa?" Pertanyaan Sena memecah kebisuan mereka.
Bowo memandang sekilas pada Sena. Perempuan ini tidak berubah. Masih sederhana, tak banyak berkata, tetapi sikapnya yang bersemangat memberikan kehangatan dan energi baru pada orang-orang di sekelilingnya. Sena tak pernah terlihat murung, seolah kesedihan dan kepahitan hidup enggan menyapanya. Padahal Bowo tahu betul, berapa banyak ujian hidup yang menimpanya sejak usia belia.
Namun, hari ini dia terlihat agak berbeda. Matanya sedikit mendung, binarnya terhalang kesedihan yang menggantung, meski wajahnya mati-matian dibuat ceria seperti biasa, senyumnya tidak alami, Sena terlihat memaksakan ujung-ujung bibirnya terangkat membentuk senyum.
"Teh Riana mana?" tanya Sena lagi, seolah bisa menebak urusan pertemuan mereka kali ini berhubungan dengan Riana.