Ponsel Riana berbunyi, dengan malas diliriknya nama yang tertera di layar. Sena. Sebuah nama yang cukup untuk dia jadikan alasan mengabaikan panggilan itu. Pasti Bowo sudah memberitahu Sena kalau dia pergi. Dan sekarang, perempuan itu ikut menghubunginya.
Riana memandang anak-anaknya yang sedang menikmati makan siang. Tak ada yang bertanya kapan mereka akan pulang. Mungkin mereka menyangka Riana sedang mengajak mereka berlibur, seperti janjinya dua pekan lalu.
"Sekarang Mama masih sibuk. Dua pekan lagi, ya, kita liburan," janji Riana saat Gibran memprotes karena Riana jarang ada di rumah. Satu bulan ini, Riana memang disibukkan dengan pameran di berbagai tempat. Dalam satu pekan, tidak habis satu tangan untuk menghitung berapa hari dia ada di rumah.
Awalnya Riana hendak mengajak anak-anaknya berlibur ke luar kota, bukan menyepi di penginapan ujung kota seperti ini. Sayang, masalahnya dengan Bowo membuat rencana liburan mereka gagal.
Sumayya sudah pulang, setelah tidak berhasil membujuknya, "Pulanglah, semarah apa pun kau pada suamimu, pantang seorang istri meninggalkan rumah suaminya," bujuk Sumayya.
Riana bergeming. Entah, tak ada keinginannya untuk pulang. Biar saja Bowo mencarinya ke setiap penjuru. Padahal, andai suaminya itu mau mendengarkan hatinya, harusnya tak perlu waktu berhari-hari untuk tahu di mana Riana bersembunyi.
Ya, penginapan ini menyimpan kenangan mereka berdua.
"Roti bakarnya enak," promosi Bowo saat Riana bertanya mau ke mana mereka hari itu. Dia tahu Riana suka sekali roti bakar.
Seperti biasa, Minggu pagi Bowo selalu berkunjung ke tempat Riana. Mengajaknya jalan-jalan sebentar, makan bubur ayam di pinggir jalan, menjajal rumah makan baru, atau sekadar mengitari toko buku. Mereka akan pulang sebelum adzan dzuhur terdengar.
Hari itu, Bowo mengajak Riana ke Taman Medina.
Sebetulnya Riana menangkap sikap tak biasa pada diri Bowo. Beberapa kali dia terlihat melamun, meminta Riana mengulang pertanyaan yang diajukan padanya, atau gelagapan saat Riana menepuk pundaknya. Saat itu dia menyangka Bowo ada tekanan pekerjaan. Sebagai supervisor di sebuah kantor pemasaran, tentu dia harus memutar otak untuk mencapai target penjualan.