Sena berdiri rikuh di samping Bowo. Berkali-kali dia menarik ujung kerudungnya. Apalagi saat Riana memandangnya tajam. Ah! Selama dia kenal Riana, baru kali ini dia ditatap demikian. Sena memaksakan bibirnya tersenyum, sambil berdoa agar situasi tidak menyenangkan ini segera berakhir.
Ah! Salahnya, kenapa dia mengangguk saat Bowo memintanya ikut serta. Harusnya dia menolak. Namun, Bowo juga salah. Andai saja Bowo tegas menolak sebelum semua menjadi rumit. Andai dia pun punya keberanian untuk menolak. Andai wasiat itu tidak ada. Andai, ah! Andai Sena bisa mengelak saat Bapak membawanya ke rumah Bowo, dulu, saat berumur dua belas. Pasti kini dirinya tidak akan berada dalam posisi seperti ini.
Sena melirik Riana yang bergeming, masih menatap Bowo dengan mata berkilat marah, rahangnya mengatup rapat. Sena tahu Riana sedang berusaha menekan amarahnya.
"Teh Riana," ujar Sena akhirnya, sepertinya dia yang harus mulai lebih dulu. Sena menelan ludah saat Riana mengalihkan pandangan ke arahnya. Ya Allah, mata penuh luka itu. Padahal dulu Sena selalu suka mata Riana yang berbinar ramah. Mata yang tersenyum, begitu Sena menjulukinya. Namun, kali ini dia tidak menemukannya. Mata Riana berkabut penuh duka, ada lingkaran hitam di sekitar matanya, Sena yakin Riana tidak tidur nyenyak tadi malam. Tiba-tiba dadanya terasa sakit. Salahnya. Ini semua salahnya.
"Saya ingin bicara," ucap Sena pelan, "berdua," lanjutnya saat dia melihat Bowo maju, hendak duduk.
Riana menatap Sena, sejurus kemudian akhirnya dia berkata, "Baiklah."
"Terima kasih," ucap Sena lalu bergegas duduk.
Dilihatnya Bowo ragu sesaat, sebelum mundur dan berkata, "Aku menunggu di tempat anak-anak." Bowo menunjuk taman bermain, tempat Gibran dan Ziya berada.
Sena mengamati sosok Bowo yang menjauh. Rasa gugup langsung menyerang saat dia menoleh, dan mendapati Riana sedang menatapnya.
Sena menunduk, "Maaf," gumamnya pelan. Dia tak tahu apa yang harus dia katakan pada Riana. Namun, dia tahu, yang pertama harus dilakukan adalah meminta maaf. Terlepas dari apakah Riana akan memaafkannya atau tidak.
"Kenapa?" hanya itu yang Riana ucapkan. Tapi cukup untuk membuat Sena bungkam.
Sena memejamkan matanya? Ya, kenapa?
Haruskah Sena menceritakan semuanya pada Riana? Terutama tentang wasiat Appa. Sena rasa, Riana belum mengetahuinya. Namun, sesungguhnya wasiat Appa bukanlah awal mula kegaduhan ini. Justru Wasiat itu adalah ujungnya. Masalahnya sendiri jauh lebih lama dari sebelum kematian Appa, bahkan lebih lama dari umur pernikahan Bowo dan Riana.
Sena ingat, hari itu dia sedang menyapu pekarangan, mengumpulkan dedaunan yang terserak, lalu menumpahkannya ke dalam karung. Halaman rumah Appa memang luas. Apalagi bagian belakang, yang ditumbuhi berbagai macam pohon buah-buahan. Di halaman depan, Appa hanya menanam pohon di pinggir-pinggir saja. "Biar lapang, jadi anak-anak bisa bermain di situ," begitu jawaban Appa saat Sena bertanya kenapa pelataran depan dibiarkan terbuka.
Pekarangan itu memang menjadi tempat bermain yang disukai anak-anak. Setiap siang hingga sore, suasana riuh rendah oleh anak-anak yang bermain.
Hari masih pagi, suasana masih sepi, sebentar lagi pekerjaan Sena selesai, tinggal menyiram taman kecilp, dan dia bisa rehat sejenak, sambil menikmati sarapan.
Sekonyong-konyong tangannya ditarik seseorang. Sontak Sena menyentak tangannya, dia mendongak mencari tahu siapa orang kurang ajar itu.
"Bapak!" pekiknya antara terkejut dan takut.
"Ikut pulang!" bentak Bapak. Matanya membeliak pada Sena yang gemetar. Bagi Sena berhadapan dengan Bapak selalu menghantarkan rasa takut.
"Saya lagi kerja," Sena berusaha melepaskan pegangan Bapak. Dia menekuk lutut dan menancapkan kakinya kuat-kuat, berusaha menahan tarikan tangan Bapak.