"Ibu tahu, kenapa saya pulang?" Untuk meminta restu Appa dan Ibu karena saya akan melamar Riana." Ada luka di suara Bowo yang bergetar. Kentara sekali dia menahan diri agar suaranya tidak meninggi.
Sena menunduk dalam-dalam, jemarinya tak henti memainkan ujung kerudung yang dia kenakan. Ini salahnya, semua salahnya. Andai dia berani membantah saat Ibu mengatakan dia akan dinikahkan dengan Bowo.
Sayangnya saat itu dia hanya bisa terpana. Bergeming saat Bapak tertawa keras, "Minggu depan," todong Bapak. "Minggu depan Sena harus sudah menikah!" tuntut Bapak, "dan jangan lupa, besok uang sepuluh juta harus sudah ada."
Sena mendesah. Sekarang, gara-gara dirinya Appa harus menggadaikan sepetak sawah, untuk membayar uang yang diminta Bapak. Lalu Bowo, apa iya Sena tega membuatnya harus ikut berkorban? Bagaimana dengan Riana? Apakah Riana juga harus mengalah? Sena menggeleng berkali-kali. Apa yang harus dia lakukan?
"Maafkan Ibu," ujar Ibu lirih, isaknya mulai terdengar. "Ibu tidak mau Sena dibawa pergi. Kamu tahu, kan, bagaimana perangai Bapak Sena? Ibu tidak bisa membayangkan laki-laki seperti apa yang akan dia nikahkan dengan Sena."
"Lantas, bagaimana dengan aku? dengan Riana?" desis Bowo. Tangannya terkepal, berkali-kali dia mengusap mukanya sambil beristigfar. Dia pasti tidak menyangka kepulangannya yang hendak memberi kabar gembira, malah disambut berita yang menghancurkan semua rencananya.
Hening. Empat orang yang berada di ruang tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing. Semua merasa tak ada jalan keluar bagi persoalan mereka tanpa harus ada yang dikorbankan. Sena sendiri lebih tertarik menatap taplak meja, menyusuri lekuk garis yang membentuk pola batik khas Cirebon. Mega mendung. Cocok sekali dengan suasana hatinya saat ini. Mendung.
Dengan ekor mata, diliriknya Appa yang menyesap kopinya pelan-pelan, beban berat tergambar jelas di wajahnya. Ingin rasanya Sena menangis. Tak tega dia menyaksikan laki-laki yang sudah menganggapnya anak itu kini terlihat muram. Dan itu semua karena dirinya.
Appa, semua orang tahu betapa berlimpah kebaikannya. Sejak awal bekerja di keluarga ini, berkali-kali Sena menyaksikan berbagai kebaikan Appa. Bukan hanya halaman depan yang dia jadikan tanah lapang untuk bermain anak-anak, tapi lebih dari itu. Appa jadi tepat penduduk sekitar meminta pertolongan. Dari hal remeh temeh seperti genting yang bocor hingga masalah pelik. Appa tidak segan membantu sebisanya.
Sena pernah melihat Appa menjual sepetak tanahnya untuk menyelamatkan seorang tetangga yang terlilit utang ke rentenir. Suatu hari, pernah juga Appa pontang panting ke sekolah, mengurus pendaftaran seorang anak yang kedua orangtuanya bekerja sebagai TKI, tak ada saudara yang bisa membantu anak itu mendaftar, dan Appa dengan suka rela membantu hingga anak itu bisa bersekolah dengan nyaman.
Sekarang, Sena juga ditolongnya. Appa rela menggadaikan sawah miliknya untuk membayarkan utang Bapak. Sayangnya, kali ini Appa terjebak oleh akal licik Bapak. Sena yakin, pasti semua ini sudah direncanakan Bapak.
Saat memberikan gajinya bulan lalu, Bapak merasa tidak puas dengan uang yang diterimanya, "Cuma segini? Kamu cuma digaji segini? Ini kurang! mana lagi?" hardik Bapak membuat Sena serta merta mundur.
"Tak ada lagi," cicit Sena nyaris tak terdengar. Dia berusaha menjaga lututnya agar tetap kuat menopang tubuhnya, menjaga agar kakinya tidak lari menjauh, hal yang selalu ingin dia lakukan saat berhadapan dengan Bapak.
"Hah! Percuma aku suruh kamu bekerja di rumah juragan beras. Ternyata pelitnya nggak ketulungan," gerutu Bapak, diempaskannya tubuh besarnya ke atas kursi, lalu duduk mencakung. Tiba-tiba dia terdiam sesaat, lalu perlahan seringai menghiasi bibirnya, semakin lama semakin lebar dan tak lama terdengar tawanya yang membuat Sena semakin ketakutan.
"Sena pamit, Pak. Mau balik kerja." Tanpa menunggu jawaban Bapak, Sena buru-buru keluar dari rumah setelah mencium tangan Mama yang hanya diam sejak tadi. Seperti biasa, sejak Sena bekerja di rumah Appa, Mama tidak banyak bicara seperti dulu. Wajahnya selalu terlihat murung, membuat Bapak semakin sering naik pitam karena merasa diabaikan.
"Tunggu dulu!" tahan Bapak. "Pak Sudrajat punya anak laki-laki, kan?" tanyanya. Sena mengangguk. "Hahaha, bagus, bagus," tawa Bapak kembali terdengar, Sena semakin ketakutan. Dia bergegas meninggalkan rumahnya, kembali ke rumah Appa.
Jadi saat kemarin Bapak datang dan tiba-tiba memaksanya menikah, Sena yakin itu hanya siasat. Terbukti dia tidak puas saat Appa berjanji hendak membayarkan utangnya. Hh, harusnya Sena sudah bisa mengendus kelicikan ini sejak awal, hingga peristiwa sekarang, perjodohan terpaksanya dengan Bowo tak perlu terjadi.
"Appa, boleh Sena bicara?" Setelah berkali-kali menelan kembali kata-katanya, akhirnya Sena berhasil mengumpulkan keberanian. Tiga orang di hadapannya langsung menatapnya.