Harusnya pagi ini cerah. Setelah beberapa hari kemarin diawali hujan semenjak subuh, pagi ini matahati sudah terang benderang meski waktu baru menunjukkan pukul tujuh lewat. Sayangnya, hangatnya tidak berimbas pada Riana. Hatinya masih berasa dingin.
Riana membuka jendela samping yang menghadap paviliun. Jendela yang biasanya tidak pernah dia buka. Namun, sejak paviliun itu dihuni, Riana kerap kali menengok lewat jendela itu. Memandang dan mencari tahu, di mana sang penghuni paviliun berada.
Di sana, pada hari-hari tertentu, Riana akan melihat Bowo keluar diiringi Sena. Tidak ada ciuman selamat bekerja seperti yang biasa dia berikan pada Bowo setiap pagi. Sena hanya berdiri di teras, mengantarkan Bowo dengan pandangannya hingga mobil Bowo keluar gerbang. Setelah itu masuk kembali ke paviliun. Mungkin menyiapkan makan untuk Ibu, atau melakukan pekerjaan lainnya.
Ya, setelah menikah, Sena dan Ibu tinggal di paviliun. Pengelolaan toko beras milik Appa diserahkan kepada salah satu paman Bowo yang sudah biasa membantu. Sedangkan rumah Ibu dirawat oleh saudaranya yang lain.
Awalnya Riana berkeras agar Ibu tinggal dengannya di rumah utama, tetapi Ibu menolak. "Ibu tidak mau mengganggu kamu. Takutnya kamu nanti nggak leluasa kalau Ibu tinggal di sana." Sekeras apa pun bujukan Riana, Ibu tetap menggeleng.
Akhirnya dia mengalah, meminta Bowo mempekerjakan seorang asisten rumah tangga untuk mengurus segala keperluan Ibu.
"Kan ada Sena," elak Bowo.
"Sena itu sekarang jadi istrimu, dia bukan ART seperti dulu," jawab Riana. "Jangan salah sangka. Kamu harus adil, jika aku mendapatkan Teh Ni, meski hanya sampai sore, untuk membantu pekerjaan rumah, maka Sena juga harus ada yang membantu," tegasnya saat melihat Bowo melebarkan mata menatapnya.
Tidak, Riana tidak sedang mengingkari hatinya sendiri. Tentu saja ada cemburu, karena dia mencintai suaminya. Bukankah cemburu adalah bumbu cinta? Bahkan istri Rasulullah pun pernah cemburu. Riana hanya tidak mau rasa itu menggelapkan mata. Bagaimanapun juga ini adalah jalan yang mereka pilih, jadi mereka harus berani menerima semua konsekuensinya.
"Baiklah, nanti aku cari orang untuk membantu Sena," putus Bowo, mencium kening Riana dan bergegas menuju mobil.
Namun, hingga tiga bulan berlalu, Bowo tidak juga membawa asisten rumah tangga untuk merawat Ibu. "Tidak mudah mencari orang untuk bekerja," alasan Bowo beberapa waktu lalu. "Lagipula, Sena tidak keberatan. Katanya daripada hanya bengong sepanjang hari, toh dia sudah terbiasa menyiapkan semua keperluan Ibu."