Pulang dari seminar, Riana menerima kabar mengejutkan. Bapak Sena meninggal tepat sehari setelah dia berangkat. Sena pulang diantar Bowo. Ibu dan anak-anak juga ikut dengan mereka, katanya Ibu sekalian nyekar ke makam Appa. Sedangkan anak-anak memaksa ikut karena ingin bersama Sena.
Riana termangu di ambang jendela. Menatap paviliun yang sekarang lengang. Dia menarik napas berkali-kali, mencoba menghilangkan sesak di dadanya.
Tidak bisa dipungkiri, dia merasa kedua anaknya begitu lekat pada Sena. Ziya tidak pernah menangis saat dia pergi, tapi saat melihat Sena hendak ke pasar atau bersiap pergi ke mana saja, anak perempuannya itu selalu merajuk dan ingin ikut. Apa karena dia sering meninggalkan mereka?
Riana merogoh ponsel di saku kulot. Dia memeriksa pesan WhatsApp yang dikirimkan kepada Bowo tadi pagi. Menanyakan kapan mereka pulang.
[Maaf, aku sudah hendak pulang karena besok harus bekerja, tapi Ziya tidak mau pulang tanpa Sena]
Riana kembali menghela napas. Dipejamkannya mata sambil menggigit bibir, berusaha menenangkan dadanya yang bergemuruh. Dia cemburu pada Sena. Sepertinya perempuan itu sudah merebut orang-orang yang dia cintai.
Kemarin dia masih bisa bertahan saat Bowo memutuskan menikah dengan Sena. Apalagi kemudian, setelah pernikahan mereka berjalan beberapa lama, tak ada satu pun sikap suaminya yang berubah. Selain beberapa hari yang dia habiskan di tempat Sena, bowo tetap suaminya yang perhatian seperti dulu.
Namun, saat sekarang dia melihat anak-anaknya perlahan menjauh darinya, dia tidak bisa menahan diri. Dia harus melakukan sesuatu.
Riana mengepalkan tangannya, duduk, mengatur napas lalu mulai mengetik jawaban untuk Bowo.
[Bisakah kamu dan anak-anak pulang sekarang saja?]
Riana menunggu beberapa saat hingga dia lihat Bowo sedang mengetik balasan.