Riana tidak menunda waktu lagi. Setelah memastikan suaminya cukup beristirahat, dia menghampiri sambil membawa secangkir teh. Anak-anak sudah tidur selepas makan siang.
"Bagaimana kabar Sena?" tanya Riana sambil menahan dadanya yang bergemuruh.
"Sudah lebih baik. Dia tidak terlalu sedih.” Bowo mengangkat cangkir teh dan meminumnya.
Riana mengalihkan pandangan ke jendela. Hujan baru saja berhenti, langit mulai terang, sisa tempias hujan membasahi beranda. Dia menarik napas, menghirup bau tanah selepas hujan. Dia benci hujan, tapi menyukai bau yang ditinggalkannya. Aneh, bukan?
"Apa rencanamu setelah Sena terbebas dari bapaknya?" Riana berkata setelah berkali-kali menelan ucapannya. Namun, dia tidak mau masalah ini berlarut-larut dan semakin parah.
Bowo menatapnya lama, seolah ingin tahu apa yang ada di kepala istrinya. Dia menghela napas dan mengembalikan cangkir ke atas meja.
"Kamu ingin bicara sesuatu?" pancing Bowo. Sedikit banyak dia bisa menebak ke arah mana pembicaraan Riana.
Riana menghela napas. "Dulu, apa tujuanmu menikahi Sena?" tanyanya hati-hati.
"Melaksanakan amanat Appa."
"Lalu? Hanya itu?" kejar Riana. Dia mencondongkan badannya ke arah Bowo, menatapnya lekat-lekat.
"Yah," Bowo diam sejenak, "Aku kasihan pada Sena karena perlakuan Bapak," Bowo balas menatap Riana. Matanya memberi isyarat bahwa dia tidak sedang bohong.