Rumah lengang, anak-anak menginap di rumah Mama, karena Riana mengikuti pameran di luar kota. Baru semalam dia pulang, dan menemukan rumah dalam keadaan sepi. Siang sebelumnya Bowo menelepon, memberitahunya bahwa ada kegiatan di luar kota. Anak-anak menginap di rumah Mama.
Riana duduk di depan meja makan. Dia sudah biasa menyantap makan siang sendirian. Namun, kali ini rasanya berbeda, seperti ada yang hilang di rumah ini. Hatinya terasa masygul.
Dia menoleh ke jendela samping yang terbuka. Matanya langsung tertumbuk pada bangunan paviliun yang tidak kalah sepi. Mendadak Riana mengembuskan napas berat. Dia senang Sena tidak lagi tinggal di sana, tetapi sisi hatinya yang lain seolah tidak rela atas kepergian Sena.
Riana menggeleng beberapa kali, tidak, dia tidak menyesali keputusannya. Lagipula, Sena juga terlihat senang bisa kembali ke kampungnya, merawat ibunya dengan tenang.
"Bulan depan aku urus surat-suratnya," ucap Bowo dua minggu lalu. Dia mengiakan keinginan Riana untuk menceraikan Sena. "Tapi aku tidak bisa membiarkannya kesulitan keuangan, jadi aku minta kerelaanmu, aku akan membagi keuntungan toko dengannya."
Riana mengangguk, tidak masalah baginya, toh toko itu milik Bowo, warisan dari Appa. Dia tidak tahu menahu dan tidak mau tahu urusan toko itu.
Begitulah, harusnya dia bahagia karena terlepas dari bayang-bayang Sena. Bukankah ini yang dia inginkan?
Selesai makan, Riana menuju teras belakang sambil menenteng majalah. Namun, ketukan di pintu membuatnya berbelok ke ruang tamu.
Wajah Marini yang tersenyum langsung tampak begitu pintu dibuka. Dia mengacungkan kantung yang dibawanya, bertuliskan merk sebuah toko donat.
"Anak-anak belum pulang?" tanyanya setelah mengucapkan salam dan duduk di sofa.
Riana menggeleng, "Mereka mungkin pulang ke rumah Mama," jawab Riana. Biasanya begitu, anak-anak akan pulang jika dia atau Bowo jemput.
"Tadi aku minta mobil jemputan langsung mengantarkan mereka ke sini. Mungkin belum sampai."
Riana hanya mengangguk, lalu melangkah ke dapur, hendak membawakan minuman dan camilan untuk kakaknya.
"Mungkin sebentar lagi," ujar Riana sekembalinya dari dapur. Dia meletakkan segelas teh dingin dan satu stoples biskuit di meja.
"Iya," jawab Marini pendek. Dia memperhatikan Riana yang memindahkan donat ke piring.
"Eh, Sena belum pulang? tadi aku lihat paviliun masih sepi."
"Iya," jawab Riana. Tangannya masih asyik menata donat di piring. "Sena tidak pulang lagi ke sini."
Mata Marini melebar. "Kenapa?"
"Aku minta Mas Bowo menceraikannya." Riana menjaga agar suaranya terdengar wajar.
Hening. Marini menatap Riana lekat-lekat. "Kamu serius?"