Jendral & Sang Pendengar

Karma
Chapter #1

01 - Yang Tak Terlihat

"Eh, ada yang kesurupan!" Sinta berdiri di pintu kelas dengan ekspresi bersemangat. Aku tidak tahu kenapa dia begitu bahagia mengatahui ada orang yang kesurupan di sekolah ini.

Fari berdiri dan itu mengalihkan perhatianku. Dia menatapku dan kubalas dengan tatapan tanda tanya. Laki-laki itu kemudian hanya tersenyum tipis sebelum menarik lenganku untuk berdiri dan keluar dari kelas.

"Aduh, tolong, aku gak tertarik sama yang beginian," rengekku dengan kaki yang masih terpaksa mengikuti arah tarikan tangan Fari. Anak-anak kelas lain juga berbondong-bondong merumuni kelas 12 IPA 3. Beberapa tampak berlari dari arah depan dan belakang kami. Ada yang tampak girang, ada pula yang terlihat cemas.

"KAMU!" Aku tiba-tiba berteriak. Kakiku berhenti. Ah, harusnya aku tidak begitu. Tapi ini sudah terlanjur. Beberapa anak yang mendengar teriakanku menoleh. Fari ikut terdiam dan menatapku.

"Jangan ke sana!" dan aku berlari sekuat tenaga menuju perempuan itu. Dia tampak agak bingung, tapi ini situasi genting. Ada kabut hitam yang keluar dari kelas itu dan kini bergelayut di atas kepalanya. Sesuatu yang gelap yang siap untuk menyerang, merasuki tubuhnya.

Brug! Aku menabrak perempuan itu. Dia hampir terhuyung ke belakang, tetapi berhasil ditahan oleh Ginanjar yang tiba-tiba datang. Gadis itu tampak sangat kaget, begitu juga dengan Ginanjar. Dia sekaligus heran dan tampak gusar. Sepertinya anak-anak yang lain juga bingung dengan tingkahku.

Tapi tidak ada waktu untuk menjelaskan. Pundakku terasa sangat kesakitan saat ini. Kepalaku mulai terasa berat. Aku sulit bernapas. Ini berat sekali. Aku jatuh berlutut. Kesadaranku mulai terpelintir. Aku menurunkan tangan, telapak bersentuhan dengan lantai, menopang tubuh agar tidak jatuh.

"Tuhan, bantu aku!" Dan kesadaranku hilang.

***

Aku terjaga dan membuka mata. Ada gorden putih di sisi-sisi ranjang. Ah, sepertinya aku di UKS. Aku lemah sekali, mana mungkin laki-laki bisa kesurupan. Pasti anak-anak akan berpikir seperti itu. Aku mulai bangkit. Seseorang masuk ke dalam bilik dan tampak terkejut. Itu Fari dan aku hanya memberinya seuntai senyum lemah. Entah kenapa energiku serasa terkuras banyak sejak tadi.

"Kamu, udah sadar?"

Aku terkekeh.

"Kamu gak ada pertanyaan lain?" jawabku.

Dia ikut terkekeh.

"Sini, kubantu!" Fari si pria barik, berjalan cepat ke sisi ranjang sambil mengulurkan tangannya. Aku berniat menolak tawaran itu.

"Tidak usah."

Tapi dia tetap memaksa dan sepertinya kepalaku masih agak pusing dan sulit menjaga keseimbangan.

"Kalau masih pusing, tetap di sini aja. Bu guru bilang, aku boleh jagain."

Aku terkekeh lagi. Dia menatap tanya.

"Kenapa?" katanya.

"Gak usah," jawabku segera.

Angin berembus kencang di luar jendela, mengalihkan perhatian kami berdua.

"Kita kembali ke kelas aja," pintaku, agak tegas dibarangi dengan senyuman. Fari mengangguk. Dia berusaha membopong dan aku tidak terlalu kuat untuk menolaknya.

"Ceritanya nanti saja, kalau udah mendingan." Dia berujar di sela langkah kami.

Aku melirik wajahnya. Sepertinya ada yang penasaran campur khawatir. Itu membuatku geli dan tanpa sadar langsung tertawa.

Fari berhenti dan mengernyit ke arahku. Aku coba berhenti tertawa. Tapi tidak bisa. Dia semakin tidak terima, jadi kugoda saja.

"Siapa juga yang mau ceritain itu ke kamu juga?"

Fari langsung melepaskan pundaknya dari tanganku. Dia bahkan mendorong dan membuatku meringis kesakitan. Aku menampilkan wajah protes, tapi tidak ada yang lebih seru dari melihat wajah kesalnya. Jadi aku masih tertawa. Dia pun mencebik dan berjalan lurus tanpa kata.

"Apa aku ditinggal?" sahutku masih menggoda. Dia tidak menoleh. Aku terdiam, sebuah bayangan kelabu sedang menatapi dari belakang. Aku harus kuat dan meneruskan langkah.

Fari mengetuk pintu kelas dan sedikit menunduk untuk meminta izin masuk kelas. Bu Guru yang sedang menerangkan di dekat papan tampak menjeda dan langsung mengangguk memberi izin.

Kami segera masuk dengan sikap seolah mengendap, mencoba tidak bising dan mengganggu. Tapi lirikan mata teman sekelas mengalihkanku. Mereka menatap seolah aku adalah hal aneh. Itu membuatku tidak nyaman.

Desisan Fari yang kemudian menyadarkanku. Dia segera memberi isyarat agar aku cepat duduk di bangku kami. Dia mungkin menyadari ekspresi tidak nyaman yang kumiliki saat ini. Namun, sepertinya anak ini belum mau menggubrisnya. Terlebih karena Bu Guru sudah mulai melanjutkan penjelasannya lagi.

Tapi hatiku masih tidak tenang. Aku melirik sekeliling. Beberapa orang kutangkap masih melirikku walaupun dengan cepat beralih dan pura-pura tidak melihat. Aku yakin ini ada hubungannya dengan kejadian tadi. Tapi, aku kesulitan mengingat semuanya. Jadi kuputuskan akan menyimpan pertanyaan itu untuk ditanyakan pada Fari nantinya.

***

Bel pulang berbunyi. Kami mengemasi buku-buku sebelum berhambur pulang. Gerakanku yang lamban membuat Fari harus menunggu. Setidaknya, selalu begitu sejak kami sekolah di sini. Aku menyelesaikan semuanya dan kami berjalan beriringan menuju pintu kelas.

Aku cukup terkejut saat seseorang tiba-tiba muncul di depan pintu. Dia gadis yang tadi aku dorong. Dan, ah, sepertinya aku berutang maaf padanya.

"Kamu--" ucap Fari yang kemudian terpotong. Aku memegang lengannya, menginterupsi.

"Kamu, cewek yang tadi, kan?" tanyaku membuka percakapan.

"Iya. Namaku Sari. Aku kesini mau--"

"Maaf! Aku minta maaf karena tadi udah ngedorong kamu."

Gadis itu tampak terkejut. Mungkin Fari juga. Dan itu membuatku bingung. Apa aku salah?

"Enggak, enggak. Kamu gak perlu minta maaf. Justru aku yang mau bilang makasih karena kamu tadi udah nolongin aku, kan?" Ekspresi wajahnya tampak ragu, tapi sepertinya dia berharap itu benar. Aku pun dengan pelan mengangguk mengiyakan perkiraannya.

Sepertinya, Fari sedang menggeleng heran sekarang. Dia memang seperti itu jika melihat sikapku yang ia anggap terlalu merendah. Padahal, bukannya wajar kalau aku minta maaf?

Mematung beberapa saat, gadis itu kemudian sadarkan diri, dia sedang menghalangi jalan kami. Jadi segera dia mundur dan kami melanjutkan langkah.

Keadaan agak canggung. Aku tidak sering berbincang dengan perempuan. Fari yang biasanya mengajakku bicara dan jadi penengah saat ada orang lain, kini malah diam seribu bahasa. Aku terpaksa putar otak mencari topik untuk memulai. Tapi apa?

Ah, aku teringat sesuatu.

"Ngomong-ngomong, namaku Imam." Aku mencoba memberinya senyuman, agak susah karena Fari berjalan di tengah, menghalangi kami. Ya, bukannya aku mau protes juga, karena mungkin aku akan jadi lebih aneh jika dibiarkan berdampingan dengan Sari. Gadis itu kelihatan terlalu cantik soalnya. Ah, pikiranku jadi ngawur.

Sari membalas dengan senyuman. Dia mangangguk pelan. Senyumannya cantik dan anggun.

"Aku sudah tahu, sering lihat kamu di kantin," katanya ... dengan santai.

Aku mati langkah. Gadis ini bilang dia sering melihatku. Apa dia stalker? Ah, tolong, otak jomlo karatan milikku mulai meronta. Aku butuh pertolongan. Fari yang kulirik tidak membalas. Wajahnya sedingin batu es dan sedatar lagu yang kunyanyikan. Aku tidak tahu kenapa dia begitu. Tapi tidak ada waktu untuk memikirkannya karena apa aku harus diam saja saat mendengar itu?

"Sering lihat Ginanjar sama teman-temannya ngobrol sama kamu."

Aku didahului. Sari memperbaiki kalimatnya. Dia tidak mengamatiku, tapi Ginanjar. Seharusnya aku tidak berpikir yang aneh-aneh. Dan mengingat dia melihat kami bicara, pasti dia sudah paham betapa pengecutnya aku.

Lihat selengkapnya