Jendral & Sang Pendengar

Karma
Chapter #2

02 - Pamali

Lagu Korea yang dibawakan oleh grup boyband di TV terdengar nyaring. Gadis 17 tahun bernama Sri adalah penikmatnya. Ia berjingkrak-jingkrak di depan TV sambil ikut menyenandungkan lagu dengan bahasa asing itu. Sesekali ia histeris saat melihat salah seorang dari para penyanyi itu membuat pose yang menggoda.

Tiba-tiba musik berhenti. Layar mati. Sri berhenti dengan wajah bingung lalu berbalik dalam sepersekian detik. Seorang wanita hamil dengan remot di tangan menyambutnya dengan wajah menantang. Sontak Sri jadi cemberut.

"Kakak ih, orang lagi senang juga," ambek Sri dengan wajah kecut. Wita, wanita hamil yang ia sebut kakak menggeleng heran melihat tingkah adiknya.

"Mau senang gak apa-apa. Tapi lihat jam juga. Ini hari jumat, kamu gak dengar itu di masjid lagi mau adzan?"

Sri terdiam. Ia tampak seperti tersadar dan mulai mendengarkan suara orang yang sedang membaca laporan keuangan mingguan di masjid. Tanda-tanda ibadah jumat akan segera dimulai.

Dengan berat hati, Sri pun akhirnya harus mengalah.

"Iya deh iya." Ia melangkahkan kakinya menuju kamar dengan wajah cemberut yang tak bisa disegarkan.

Wita kembali menggeleng pusing dan meletakkan remot ke tempat semula. Ia kemudian berjalan ke emperan rumah tempat ibunya sedang membersihkan sayuran. Tepat saat Wita sudah di luar, ibunya bangkit dengan wadah berisi daun-daun hijau yang sudah siap diolah.

"Kamu mau ke mana, Wit?" ibunya bertanya.

"Wati tersenyum lembut, mau nyari pepaya, Bu. Aku ngidam kayaknya. Soalnya kebayang terus," jawab Wati agak mengeluh. Itu membuat ibunya khawatir.

"Gaboleh, Nak. Kalau dekat waktu jumatan gini pamali buat kita keliaran. Apalagi kamu lagi hamil." Ibunya menasihati.

"Tapi, Bu--"

"Gak ada tapi-tapi, ayo masuk ke dalam!"

Wajah Wita mulai cemberut. Terlihat lehernya memanjang, menelan ludah yang mengalir deras membayangkan jingganya buah pepaya matang. Namun, ia tak bisa menikmati rasanya dan itu cukup meresahkan bagi seorang ibu hamil. Wita pun memutar otak agar dibolehkan keluar dan sesuatu muncul begitu saja.

"Kalau nanti anakku ileran gara-gara ibunya gak dapat pepaya pas ngidam gimana, Bu?"

Ibunya yan berjalan di depan kini berhenti dan berbalik. Ia terlihat berpikir keras. Dan dari raut wajahnya, sepertinya sudah ada satu cara yang terpikirkan.

"Gak ada yang larang kamu makan. Yang gak boleh itu, kamu keluar siang bolong. Itu gak baik, bisa kena bahaya. Pamali."

Sudah dua kali ia mendengar kata 'pamali' dari ibunya. Itulah yang dipikirkan Wita hingga wajahnya tampak malas.

"Terus gimana dong, Bu? Aku kan pengen makan pepaya," rengekan manja seorang ibu hamil itu keluar begitu saja. Ibunya dibuat kaget olehnya.

"Kamu bikin ibu keingat masa hamil aja."

Sontak, sahutan itu membuat keduanya sama-sama tertawa kecil.

"Minta saja adikmu itu buat cariin, biar gak kamu yang keluar siang bolong." Ibunya menjelaskan setelah tawa kecil mereka usai. Wita berpikir sejenak. Adiknya cuma Sri, apa Sri mau membantunya?

Wita segera berjalan menuju pintu kamar Sri yang tertutup. Ia mulai memanggil nama gadis itu sambil sesekali mengetuk pintu. Sri yang ada di dalam tengah asik memantengi ponsel dengan wajah gembira. Meski earphone terpasang di telinga, wajahnya seketika menunjukkan ekspresi terganggu saat mendengar suara kakaknya yang memanggil.

Tampilan volume ponsel yang dinaikkan pun muncul di layar. Sri lanjut menyaksikan penampilan idolanya dengan wajah semringah. Kali ini suara kakaknya benar-benar tertutup oleh suara para lelaki yang menawan itu. Sri mulai menirukan nyanyian mereka tanpa suara agar kakaknya tak mendengarkan dari luar.

Wita yang sudah lima kali mengulangi ketukan dan panggilan di depan pintu akhirnya menyerah. Ia takyakin adiknya itu sudah tertidur karena belum beberapa menit yang lalu sejak ia mengganggu kesenangannya. Dan kata 'mengganggu kesenangan' itu membuatnya yakin bahwa adiknya sedang menghindar saat ini.

Wita ingin mengeluh, tapi ibunya sudah lebih dulu masuk ke dapur untuk menyiapkan makan siang mereka. Wita pun duduk dengan wajah kecut di ruang keluarga. Layar TV masih dibiarkan mati walau remot sudah di tangannya. Wanita itu tampak berpikir keras sambil mengusap perutnya yang sudah membulat besar. Ia menggigit kecil bibirnya sendiri sebelum kemudian bangkit dan menuju dapur.

"Bu, Sri nggak mau jawab. Padahal udah aku ketuk pintunya." Wita mengadu dengan manja. Ibunya tak membuang muka dari pisau dan wortel di depannya.

"Nggak mau jawab?"

"Iya," masih dengan nada manjanya.

"Mungkin sudah tidur," ibunya mencoba menenangkan.

"Enggak, dia baru aja masuk kamar. Kayaknya dia agak marah. Gimana dong, Bu? Aku pengen banget makan pepaya."

Ibunya berhenti mengiris wortel, tapi tak melirik ke arahnya.

Lihat selengkapnya