"Permisi, saya mau minta buah pepayanya satu!" Wati menggumamkan permintaan untuk berjaga-jaga jika kecemasannya terjadi. Setidaknya saat terpojok nanti, ia bisa berdalih bahwa dirinya sudah meminta izin.
Wanita hamil itu pun mulai mencari galah sambil memegang perutnya. Buah di atas sana terletak terlalu tinggi untuk diraih tanpa alat. Ia senang saat tak jauh dari pohon itu, tampak sebuah galah panjang yang cukup untuk mencapai puncak. Ia mulai memungutnya dengan kewalahan karena ukuran dan berat perutnya yang membuat semakin sulit untuk berjongkok. Ia tak sadar, ada sesosok perempuan dengan terusan panjang yang sedang menatapnya. Tepat di belakangnya.
Wita segera bangkit, tentu masih kewalahan. Namun, wajahnya terlihat gembira karena permintaan bayinya sebentar lagi akan terpenuhi. Setidaknya, itulah yang ia yakini. Maka wanita itu mulai mendirikan galahnya dan mulai menusuk-nusuk batang buah di atas sana. Agak kesulitan, tetapi tampak ada perubahan pada batangan pepaya itu.
Wita cukup gembira, saat tusukan-tusukan galahnya semakin sering mengenai tangkai buah dan berhasil membuatnya rapuh. Satu tusukan berikutnya, ekspresinya tampak berbeda. Puncak galah tersangkut. Ia kesulitan menariknya kembali. Ia meresa seperti ada yang menahan puncak galah itu di sana. Dan satu lagi, bulu kuduknya meremang.
Wita segera menoleh ke belakang. Perasaan seolah ada yang mengawasi mulai menghantuinya. Napasnya mulai memburu tapi galahnya masih terasa berat. Ia mulai gusar. Sudah sejauh ini, tak boleh kembali hanya karena takut. Tangannya menggenggam galah dengan erat lalu menarik dan menusukkannya berkali-kali hingga buah itu terjatuh.
Namun, ada yang lebih mengejutkan Wita. Ia mendengar suara teriakan samar-samar saat pepaya itu jatuh. Wita berbalik pelan, memeriksa apakah ada seseorang di belakangnya. Perlahan berjalan untuk mencai sumber suara. Namun, tak ada siapa pun di depan rumah itu.
Rasa penasarannya mulai mengambil alih. Wita melirik ke arah jendela berkaca gelap. Ia berusaha mengintip ke dalam walau tubuhnya berjarak sekitar 3 meter dari jendela rumah itu. Namun, ia tak bisa melihat apa pun. Semuanya benar-benar gelap.
Lantas ia bergegas meletakkan galah dan membawa buah pepaya itu kembali ke rumahnya. Ia tak menyadari bahwa bayangan di bawah kakinya sudah membulat. Menunjukkan bahwa matahari berada lurus di atas ubun-ubun. Waktu yang sangat tak dianjurkan untuk beraktivitas. Sementara ia malah bersenandung senang membawa buah pepaya yang sedikit bolong setelah berbenturan dengan tanah.
Wita tiba di rumah dengan seringai yang tak berhenti. Ibunya menunggu dengan cemas dan langsung menyuruhnya duduk diam. Segera ia disemprotkan dengan segala macam petuah akibat kecemasan orang tua yang ia anggap sedikit berlebihan. Ya, walaupun ia sempat termakan rasa takut itu juga walau beberapa saat.
"Ibu bahkan membangunkan adikmu dan menyuruhnya mencari kemana-mana," keluh ibunya sambil menunjuk Sri yang tampak tanggung antara 'ingin protes karena direpotkan' atau 'tidak enak karena merasa ketahuan tidak tidur'.
Wita hanya meliriknya dengan tak suka dan mulai bicara.
"Udahlah, Bu. Nggak usah dibesar-besarkan. Kalau ibu besar-besarkan, nanti malah aku anggap ibu yang ngasih doa yang buruk buat anak aku."
Perkataan itu membuat semua orang terdiam. Wita dengan rasa bersalah dengan bahasanya yang terlalu lancang, ibunya dengan rasa tak terima akan penolakan yang ditunjukkan oleh anaknya, dan Sri yang bingung dengan situasinya. Gadis itu juga mulai berpikir bahwa dirinya turut andil menciptakan keadaan aneh ini. Harusnya, sedari awal ia dengarkan panggilan kakaknya.
Sri mulai menggigit bibir bawahnya dengan pelan. Ibu mereka bangkit dalam diam dan berjalan masuk ke dalam kamarnya. Wita ingin memanggil, tetapi rasa enggan menahannya. Sri hanya bisa menyaksikan tanpa berani berbuat apa-apa. Ia mematung di depan kakaknya hingga menyadari masakan yang ditinggal oleh sang ibu. Ia segera menggunakan itu sebagai alasan.
"A-aku, lihat masakan ibu du-lu," katanya dengan kaku. Wita tak menghiraukan, ia hanya duduk menatap buah pepaya di depannya dalam lamunan. Lalu sesosok wanita dengan wajah nanar, muncul dari kabut gelap di belakang Wita, menarik wajah wanita hamil itu dengan paksa hingga ia tersenyum sangat lebar.
"Mari makan!" sahut Wita sebelum mengambil pepaya di hadapannya dan langsung menggigit begitu saja.
Wita memakan pepaya itu seperti binatang buas yang sudah lama tak makan. Tak jelas kulit, daging atau biji, semua dikunyah olehnya. Semburan daging pepaya yang terlepas dari kunyahan bertebaran dan mengotori wajah dan mulutnya. Daging pepaya itu ia cabik-cabik dengan taring dan cakarnya.
Hingga ia puas dan meninggalkan sisa-sisa tak beraturan di atas meja dan lantai di ruang itu. Dengan wajah nanar, ia masuk ke dalam kamarnya. Kabut gelap menyelimuti tubuh wanita hamil itu dengan air mata yang mulai membulir dan menetes lalu mengalir. Menghiasi senyumannya yang sangat lebar.
***
Akbar pulang membawa dua buah pepaya permintaan istrinya. Dengan girang, laki-laki itu memasuki rumah sang mertua. Ia hendak memanggil nama sang istri ketika Sri datang menyambut di ruang tamu dengan mata berair.
"Sri? Kamu kenapa?"
"Bang, Kak Wita, Bang."
"Kenapa? Ada apa sama Wita?" Akbar menampilkan raut cemas. Napasnya mendadak cepat. Sri tak sanggup menjawab. Akbar berlari ke dalam dan menemukan mertuanya di ruang keluarga. Ia berhenti sejenak.
"Bu, Wita mana?" sang mertua bangkit, menatap wajah cemas Akbar dengan wajah bersalahnya. Akbar tak ingin buang waktu lagi. Ia meletakkan buah yang dibawa ke atas sofa lalu hendak berlari ke kamar mereka. Tapi, mertuanya menahan.
"Lihat ini dulu, Nak!" wanita itu menunjuk ke arah sisa pepaya yang berserakan di atas meja. Akbar mengikuti, tetapi agak bingung.