Tahun 1942 , Di rumah bordil dan penampungan para pelayan rumah tangga – Sohien, Jakarta.
Ekonomi di Indonesia semakin memburuk. Itu semua disebabkan oleh kompeni. Kalahnya negara-negara sekutu saat terjadinya Perang Dunia II, menjadi catatan buruk sejarah kompeni. Banyak pabrik yang tutup. Pengangguran dimana-mana. Bahkan adapula diantara mereka yang memilih kembali ke negara asal mereka karena merasa tak tahu lagi harus berbuat apa. Ada pula yang mengatakan, bahwa kompeni telah ditundukkan.
Seruan aneh kembali muncul di media bahkan penjuru kota. Mereka menyebut, sekarang adalah masanya penjajah bermata sipit dari timur –
"Nippon?" gumamku.
"Baca apa Tik?" tanya Rubi, teman sekamarku.Tujuh tahun berlalu, membesarkan aku seperti sekarang. Kertas lusuh yang ibu berikan padaku di saat terakhirnya, membawaku ke tempat ini.
Rumah bordil dan penampungan para pelayan rumah tangga.
Bukan sebagai nyonya kamar merah yang suka bercolek dan berlenggak lenggok, namun hanya budak kelas bawah yang terus bekerja membersihkan kotoran bar atau mungkin bekas muntahan para pemabuk. Pekerjaan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Dua tahun tinggal bersama bibi. Lima tahun sisanya, aku bekerja bersama Sohien – majikan berdarah China dan Belanda – cukup membuatku memiliki pengalaman sebagai pelayan terbaik. Aku mendapatkan banyak uang serta sempat duduk di bangku sekolahan.
Bisa sekolah adalah sebuah kebanggan kedua bagi rakyat pribumi. Bisa membaca dan menulis ibarat memiliki intelektual di atas rata-rata di kalangan rakyat jelata. Miris memang. Tapi begitu lah kenyataannya.
Untuk membuat perbandingan, aku cukup beruntung daripada Rubini ini – teman seperjuanganku – yang sampai sekarang masih belum bisa membaca. Padahal kami sama-sama di sekolahkan. Tapi Rubini tetaplah Rubini. Perempuan tanah merah yang berharap menjadi nyonya. Perempuan berparas cantik yang terus menerus ditipu oleh banyak hidung belang.
Rubini tak menyadari hal itu. Dia masih yakin kalau dialah yang telah memperdaya mereka. Sikap keras kepalanya, tak urung membuatku menyerah untuk menasehatinya.
"Lagi baca koran yang katanya bangsa asia timur sekarang tengah meresahkan negara kita ini –" jawabku.
Rubi tak lagi tertarik dengan rasa penasarannya tadi. Padahal, aku terlanjur menggebu-gebu ingin menceritakannya.
"Jadi pindah ngebabu kemana lagi, Tik?" Rubi mengganti topik.
Rubi suka sekali bercolek. Dia bilang hanya itu keahliannya. Dibandingkan dengan gadis-gadis lain, memang kuakui bakat Rubi soal bercolek, dialah ahlinya.