Lagu EXO berjudul MAMA yang menjadi nada dering alarm harian di ponselnya berbunyi dengan keras untuk ke-sekian kali. Zerina terpaksa membuka mata dan bangun dari tidur setelah berulang kali menekan tombol snooze agar benda persegi panjang itu tak merengek secara terus menerus. Selanjutnya, dia menggeser tubuh rampingnya dengan malas, mendekati Ipeh, Iphone X yang menjadi sahabat baiknya sejak Samsul alias Samsung miliknya rusak. Selepas mengumpulkan pasukan nyawa ke dalam raga, ia beringsut menuruni kasur ukuran queen-sized ini. Kemudian, berjalan dengan menyeret kaki, bergerak meninggalkan kamar untuk mandi.
Selang beberapa saat, Zerina kembali ke kamar. Cewek yang memiliki rambut panjang di bawah bahu itu segera mengganti pakaian dengan seragam putih abu-abu yang digantung di pintu lemari. Senyuman lebar perlahan mengembang di bibir merahnya ketika ia melihat pantulan diri yang telah mengenakan seragam putih polos berlogo osis warna cokelat serta rok polos selutut berwarna abu-abu beserta atributnya.
Dadanya bergemuruh seketika, saat membayangkan bagaimana kehidupannya di masa SMA hari ini. Pasti akan sangat menyenangkan, bukan?
"Anj*r, ternyata udah mau jam setengah tujuh. Bisa telat kalo gue gak siap-siap sekarang!"
Zerina refleks berteriak setelah tanpa sengaja melirik jam dinding yang menempel di atas lemari pakaian. Lantas, dia menabur bedak di wajah serta memoles lipbalm yang mengandung pewarna di bibir dengan tergesa-gesa. Habis itu, ia bangun dari kursi sambil mengikat rambut panjangnya dengan kunciran membentuk ekor kuda. Usai memastikan semua barang yang diperlukan telah masuk ke dalam tas, cewek yang akrab dipanggil Zeze ini bergegas meninggalkan kamar.
Zerina berjalan menuju ruang makan. Sesampainya di sana, ia menempatkan bokong pada kursi di sebelah papa. Satu-satunya pria di dalam keluarga itu nampak sibuk sendiri dengan tablet elektronik di tangannya. Kemudian, manik jernih berwarna kecoklatan miliknya berpindah kepada bunda dan seorang gadis yang memiliki paras sepertinya. Dia adalah Zalina, kembaran yang lahir lima menit setelahnya.
Kelihatannya, dua perempuan itu sedang asik membuat nasi goreng untuk menu sarapan keluarga ini. Tanpa sadar, sudut bibir Zerina bergerak membentuk sebuah senyuman pahit ketika memperhatikan interaksi manis antara ibu dan saudari kembarnya. Hatinya mencelos. Pasalnya, sejak kejadian yang menimpa Zalina saat mereka kecil, bunda tak lagi menunjukkan kasih sayangnya. Malahan, beliau seperti tidak menganggap Zerina sebagai anak kandungnya lagi. Miris, bukan?
"Kalau kamu mau, gabung aja sama bunda dan Zalin, Ze."
Zerina spontan menoleh kepada papa, lalu menggeleng seraya memberikan senyuman tipis untuk pria berwajah rupawan tersebut. "Gak usah, Pa. Lagian Zeze kan gak bisa masak. Nanti yang ada malah bikin makanannya jadi gak enak lagi."
Tangan besar yang penuh kehangatan itu menyentuh pucuk kepalanya dengan lembut. Sudut bibir ungu kehitaman itu terangkat ke atas, membentuk senyuman tipis yang menyiratkan banyak arti. Bola mata kecoklatan miliknya pun ikut memandangi Zerina dengan sorotan yang sendu. Nampaknya, papa mengetahui isi hati anak sulungnya saat ini. Hanya saja, beliau tidak bisa berbuat banyak untuk membantu si anak, selain memberikan rasa sayang yang dibutuhkan oleh sang putri.
Beberapa saat kemudian, makanan yang dibuat bunda dan Zalina pun jadi. Raut sendu yang nampak di wajah cantik Zerina seketika berubah menjadi cerah ketika nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas tersaji di atas meja. Kedua sudut bibir merahnya pun ikut membentuk lengkungan lebar ke atas saat aroma khas masakan itu menyeruak masuk ke dalam hidung.
Sungguh, rasanya tak sabar untuk mencicipi makanan lezat buatan dua perempuan yang paling ia sayangi itu.
"Ini untuk Zalina kesayangan Bunda," ucap bunda dengan lembut seraya memberikan sepiring nasi goreng kepada Zalina yang kini menempati kursi di sebelah kakak kembarnya. "Yang ini untuk Papa," lanjutnya sembari memberikan sepiring lagi untuk papa. Setelah itu ia menyendokkan lagi nasi goreng ke dalam sebuah piring lalu meletakkan piring tersebut di depan Zerina.
"Makasih, Bunda!" s
***
Kendaraan beroda empat warna hitam yang dikemudi oleh Pak Anto, supir pribadi keluarga Zerina akhirnya berhenti di halaman gedung utama SMA Bina Harapan yang merupakan salah satu sekolah bergengsi di Jakarta.
Zerina mematung sejenak usai turun dari mobil. Pupil cokelatnya melebar sempurna ketika memperhatikan satu per satu objek yang tertangkap oleh pandangannya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada sebuah patung buku besar warna perak yang menjadi ikon kebanggaan sekolah ini. Di belakang patung tersebut, sebuah bangunan besar berlantai lima berdiri dengan kokoh. Bangunan tersebut adalah gedung utama sekolah.