Dewi Niks mendengarkan rintihan kepedihanku malam itu, setibanya di Sentosa pikiranku hanya terbelenggu oleh direct message dari Khaireza Putri seakan memberikan kabar untuk jiwa-jiwaku untuk semakin berkecamuk.
Setelah melewati arrival gate, aku hanya tertegun dengan beban yang seolah-olah bertambah. Beberapa menit setelahnya aku meninggalkan harbour dan menyambangi beberapa market disekitar. Berharap aku bisa meringankan sejenak beban yang kupikul.
“Excuse me, gimme hot choco, please.” ucapku kepada Bartender di salah satu foodcourt tersebut sambil menemukan meja yang kosong.
Aku duduk disana sambil mempermankan sreen handphoneku. Ingin berkomunikasi dengan pengunjung sekitar namun didominasi oleh pengunjung Chinese jadi aku hanya menikmati hot choco ku ditemani live music.
“Ah… jadi lagi duit ni habis, ngapain sih aku tiba-tiba dapat pesan itu padahal hati aku lagi cerah dan bahagia apalagi ada kak Kiki. Ribet banget memang masa lalu ni, ngejar terus keg bom waktu. Aku ganteng tidak, kaya pun masih khayalan, kire-kire ape yang nak dicari betine tu e?” gumamku sambil melihat keluar dengan tatapan kosong.
Sebuah pesan masuk mengagetkan lamunanku. Pesan dari Chyntia yang mengomentari statusku di Whatsapp yang berisikan pesan dari Ali bin Abi Thalib “Jangan pernah mengambil keputusan ketika sedang marah dan jangan pernah mengumbar janji ketika sedang bergembira.” Pesan itu perlahan membuatku tersadar denga napa yang kulakukan saat ini.
“Ah taiklah, bener sih. Apa-apa aku ngambil keputusan spontan kalo marah terus kalo terjadi sesuatu kan yang repot aku juga sama keluarga di rumah.” gerutuku menyesali tindakanku saat ini yang duduk ngopi di negeri orang.
Perlahan-lahan aku pun mulai meninggalkan coffee shop dan kembali ke harbour. Aku duduk di halaman parkiran dan tak tau apakah aku harus ke penginapan atau bagaimana. Baru saja ingin bergerak menuju penginapan seseorang memanggilku menggunakan bahasa Chinese.
Orang tersebut berbicara tanpa henti dihadapanku, mungkin saja dia memberikan informasi atau pun memarahiku yang sedari tadi duduk diparkiran seperti orang yang mencurigakan.
“I’m sorry, I couldn’t speak in Chinese. Any something I can help you?” ucapku sambil mengamati perawakannya.
“No la, I say to you: are you come late to go Tanjungpinang?” ucapnya dengan tergesa-gesa. Aku hanya berpikir bahwa ia adalah petugas kepelabuhanan disini.
“No, I just arrived. I want to look an ittennary nearest here.” ucapku dengan gestur.
“Oh… You want back tomorrow?” tanya orang tersebut.
“Yes. When the harbour open?” tanyaku sambil membuka ponselku untuk mengatur alarm esok hari.
Orang tersebut pun memberikan penjelasan menggunakan Singlish yang hanya bisa kumengerti beberapa kalimat saja. Setelah berkomunikasi lumayan lama dan menanyakan apakah saya bisa menginap di sini saja tepatnya di parkiran umum ini, respon orang tersebut pun mengizinkan namun hanya di samping pos penjagaan.
Mendapati izin dari petugas disana, aku merebahkan tubuhku di slah satu kursi panjang dan menyelimuti tubuhku dengan jaket yang kubawa.
Aku tak bisa memejamkan mataku hanya ada bayang-bayang masa lalu ku dan kak Kiki yang terus berevolusi menjadi kekhawatiran untukku. Terlebih lagi aku merasa sangat bersalah pernah berjanji pada Khaireza untuk menikahinya. Bahkan saat itu aku hanya berpikir hidupku tidak akan baik-baik saja nantinya karena akan ada karma yang mengintai.
Aku merasa sangat tertekan bahkan aku bangkit dari rebahanku dan mengambil ponselku mendengarkan beberapa lagu. Usaha tersebut pun belum cukup mengobati komplikasi pikiranku yang kian berkecamuk.
Namun sebuah channel youtube melintas dan ku klik dengan sengaja. Isinya tentang surah Ar-Rahman yang dibacakan oleh Ustad Muzammil Hasballah. Seiring ku mendengarlkan ayat demi ayat pikiranku yang kalut tersebut pun mulai mereda. Aku yang tak begitu dekat dengan murrotal-murrotal pun seperti menikmati indahnya suara pembacanya.
Empat menit berlalu, aku masih mendengarkan morrotal tersebut dan ada ayat yang selalu terulang-ulang. “Fabi ayyi aalaaa’i rabbikuma tukazziban” itu membuatku penasaran dengan artinya. Setelah mencari-cari di google ternyata artinya adalah “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?” menemukan terjemahan ayat tersebut “Ar-Rahman” atau “Maha Pengasih” membuatku mengalami sensasi cinta yang luarbiasa. Bahkan aku berucap bahwa aku akan melafalkan ayat ini jikalau Allah mengizinkan aku bersama kak Kiki.
Seperti mendapat hidayah malam itu, aku pun menelusuri beberapa konten yang menjadikan surah Ar-Rahman sebagai mahar pernikahan. Hal itu sendiri membuatku bertanya-tanya kenapa bisa sebuah surah dijadikan mahar, namun magisnya dalam konten tersebut para saksi ijab qabul tersebut menangis tersedu-sedu.
“Tak betol konten ni.” ucapku sambil men-scroll konten lainnya. Namun semua sama saja, surah Ar-Rahman tersebut merupakan surah yang memilki kekuatan magis dalam berkehidupan.
Bak menemukan solusi kegundahanku saat itu, aku mempelajari beberapa hal yang berkaitan dengan surah tersebut seperti shalat tahadjud, shalat istikharah, dan Jum’at berkah (Al-Kahfi).
Malam itu aku habiskan mencari informasi mengenai shalat istikharah dan surah Ar-Rahman hingga tak tersadar waktu menunjukan pukul empat subuh.
“Mak oi… terok juge wak, bacaan do’a shalat ni panjang juge. Ngapal name-name ikan aje aku puyeng, apalagi do’a bahasa arab ni. Ana unai nu ana unta.” ucapku setelah menemukan bacaan serta doa setelah shalat istikharah.
“Agaknye kalo aku tes pakai teks dulu tak ade masalah, kan aku belajar.” ucapku mencoba memengaruhi diri.
“Pakai lah, sebelum jam lima nanti aku tes dulu baru shalat subuh lepas tu.” ucapku beranjak dari tempat duduk dan mencoba bertanya toilet dengan petugas disana.
Akupun mulai melakukan gerakan sholat yang dianjurkan oleh Ustad Adi Hidayat. Layaknya anak kecil yang sedang praktik sholat, sesekali aku mengintip di layer handphoneku do’anya.
Setelah sekian jam, waktu shalat subuh versi Singapura tiba. Aku masih berada di sekitar parkiran tempat aku praktik sholat istikharah sebelumnya. Rasa ingin tahuku perlahan membantuku untuk lupa banyak masalah di benakku.
Seusai mengerjakan shalat subuh, aku menggitari sekitar Pelabuhan untuk menemukan coffee shop. Beberapa meter dari tempatku sebelumnya aku menemukan kedai kopi kecil yang sekiranya mampu mengobati rasa laparku sedari malam tadi.
“Ya Allah, makan akhirnya. Sumpah the best surah tu. Baru kali ini aku bilang Ya Alllah kalo aku ngomong.” gumamku sambil tertawa sendiri menyadari hal aneh berlaku padaku.
Setelah memesan makan dan segelas kopi akupun segera kembali dan memasuki area Pelabuhan penyeberangan.
“Ape gaye sal, ke Singapur cuma nginap di parkiran terus makan waffle sama kopi. mandi pun tidak, seharusnya tu ke Marina Bay atau Universal Studio. Tapi aku malah di parkiran.” ucapku sambil menertawakan keabsurban diriku.
Menjelang tengah hari, aku baru bisa menyeberang ke Tanjungpinang setelah berjibaku dengan lapar yang teramat sangat.
Akhirnya setelah mengerjakan shalat Dzuhur di kapal, aku pun tiba di Tanjungpinang dengan banyak energi dan semangat yang terkumpul. Beberapa saat kemudian, sebuah DM masuk dari fake account yang membuatku berpikr pasti ini adalah orang yang sama. Tanpa berpikir panjang akupun memblokir pesan tersebut. Aku yang berasa sangat pulih langsung menuju ke kampus sore itu dan melaksanakan sholat Ashar di masjid Senggarang. Selepas itu, aku ke tempat Don Carlo.
“Sombong nah tadi, abang panggil malah langsung ke atas.” ucap bang Don.
“Tak lah bang, sholat dulu biar aman posisi aku bang.” ucapku sambil mengambil sebatang rokok di meja komputer.
“Kiki macam mane sal?” tanya bang Don.