Debi sangat puas bisa menyaksikan pentas tari kemarin malam. Walaupun, pulang-pulang dia harus menerima ocehan Papanya seperti biasanya. Namun, Debi mencoba untuk tenang. Ia pun pelan-pelan, melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
“Pulang malam lagi!” Tiba-tiba Papa sudah berada di depannya. Debi sempat terkejut. Jantungnya tidak beraturan berdetak.
“Maaf, Pah!” ucap Debi ketakutan. Sambil melipir ke dekat tembok untuk siap ngibrit masuk kamar.
“Ini sudah jam berapa?”
“Dua belas malam Pah,” jawab Debi lemas. Pasrah saja kalau hari ini bakalan kena cuap-cuap amarah Papa.
Ternyata, tidak berlangsung lama. Karena sudah sangat larut. Seketika Papa masuk kamarnya. Tepat sekali, saat Mama terbangun. Papa gak bakalan lama ngomel-ngomel kalau sudah malam sekali. Entah esok, apakah bakalan dilanjutkan.
Sehabis bersih-bersih dan berganti baju yang santai Debi pun hendak pergi tidur. Lelah, seharian duduk nonton pentas tari itu. Apalagi kesatria Arjunanya bikin Debi terngiang-ngiang. Belum lagi yang dibilang Amara kalau Arjuna itu aslinya memang tampan.
Debi berpikir sejenak.
Arjuna itu kan aslinya di dalam ceritanya memang tampan? Berwibawa, bijaksana, kesatria. Pokoknya pahlawan pujaan hati. Membela kebenaran. Saat ia memperagakan keelokan tariannya, membuat pandangan kaum hawa terarah kepadanya. Kagum juga, terkesima dan terhibur. Begitu juga dengan Debi.
Amara malahan kelihatan mulai menyukai pentas seni tari itu. Apa karena pemeran Arjunanya sangat tampan? Ehm, bisa jadi. Itupun yang memberitahu malah Amara. Kalau tidak, mana tau Debi bahwa pemeran Arjuna itu sangat tampan.
***
“Deb, gimana bokap lo? Marah lagi?” tanya Amara paginya melalui saluran telepon genggam.
“Gak begitu marah Mar, mungkin karena gue jalannya sama lo. Jadi gak banyak tanya,” jawab Debi sembari memoleskan tipis-tipis bedak natural kewajahnya, dan ditambah lipgloss warna pink rasa mentolnya.
“Besok-besok keluar ngajak lo aja kali ya, Mar?” celutuk Debi sembari nyengir kuda. Terdengarlah suara protes Amara yang tidak setuju dengan celotehan Debi barusan. Debi hanya cekikikan saja.
Debi mau pergi jalan sendiri hari ini, sekalian cari-cari info tentang Universitas yang ada jurusan seni dan budayanya.
Tujuan menelpon Amara, adalah ingin mengajaknya. Tetapi Amara hari minggu ini ada acara kumpul dengan keluarganya. Debi pun maklum. Mau gak mau pergi sendiri saja.
Lagian biasanya juga Debi pergi sendiri, dan hanya mengumpulkan brosur-brosurnya saja. Lalu memilih satu persatu mana yang cocok dia pilih. Debi baru bisa meminta pendapat dari Mama. Kalau Papa, mana mau. Yang ada Debi malahan dimaki-maki. Disuruh mencari jurusan Ekonomi ataupun Akuntansi. Jurusan yang Papa inginkan itu.
“Ya udah gue jalan sendiri deh,” ujar Debi, dan menutup sambungan teleponnya.
Debi itu sangat hobby kalau jalan sendirian, ya ke toko buku atau menonton pagelaran tari. Memang selalu sendiri. Sama Amara baru-baru ini saja. Ternyata, Amara menyenangkan untuk diajak menonton tari-tari yang Amara sendiri sebenarnya kurang menyukai dibanding Debi. Akhirnya karena sering diajak Debi, Amara lebih kurang taulah tentang tari-tari tradisional. Dari menonton itulah, Amara mulai menikmatinya. Apalagi semalam, sepertinya dia tertarik dengan sosok Arjuna. Yang, aslinya juga tampan. Debi tersenyum sendiri, ingat tingkah Amara saat itu.
Debi menstater motor matik milik Mama yang selalu dipakainya ke mana-mana. Bahkan kadang-kadang ke sekolah, masih membawanya. Selebihnya, ia pesan ojek motor untuk mengantarkannya ke sekolah. Debi tidak selalu membawa motor Mama.