“Lo, yakin?” suara Amara terus-terusan menanyakan itu.
“Udah, lo gak perlu khawatir gitu lah. Gue yakin banget ini pilihan gue,” sahut Debi berusaha meyakinkan Amara.
“Gue sudah daftar loh, masa iya gue batalin?” seloroh Debi.
“Lihat deh, di sana ada yang sedang menari!” seru Debi seketika
“Kayaknya, tarian jawa,” katanya lagi
“Kita ke sana aja yuk!" tukas Amara.
Akhirnya, Amara mengajaknya mendekati penari tersebut. Rupanya sekarang Amara tidak canggung lagi dalam mencoba menikmati tarian-tarian. Ini pasti karena Debi. Padahal Debi tak pernah memaksanya untuk menyukai apa yang disukainya.
“Itu mereka sedang berlatih, Mar."
Amara hanya sedikit mengangguk memberikan respon.
“Iya, sepertinya bakalan ada pentas di kampus ini," tebak Amara.
“Lo, yakin?”
“Yakinlah, Deb. Masalah pentasnya kapan, gue gak tau."
Ya, udah nanti kita tanyain aja,” kata Debi, antusias.
Mereka berdua mendekati beberapa penari yang hanya memakai selendang diikatkan di lingkaran pinggangnya. Memang terlihat seperti sedang latihan. Debi dan Amara pun duduk dengan manis di dekat situ.
Debi nampak serius sekali, sementara Amara seperti menikmati sendiri. Dari pandangan matanya sangat terlihat mengagumi gerakan gemulai penarinya. Debi tersenyum tipis, lalu melihat kembali ke arah penari-penarinya, dengan musik gamelan yang kedengaran menyentuh setiap denting iramanya.
Seorang perempuan cantik, memperagakan gerakan-gerakan pelan dan mengulanginya kembali berulang-ulang. Dia sepertinya tengah melatih mereka. Dengan sabarnya ia menari, lembut dan setiap gerakan yang sulit, dilakukannya dengan gemulai dan lentur, agar mudah diikuti. Debi sudah keburu kagum sejak tadi.
“Keren banget ya?” puji Amara, setelah latihannya sudah selesai.
Mereka pun beranjak dan hendak pulang. Namun rupanya si pelatih menari tersebut sudah memperhatikan duluan.
“Mahasiswa baru?” tegurnya cepat. Di pinggangnya masih terikat melilit selendang yang motifnya asli batik Jawa.
“Iya, Kak,” jawab Debi reflek.
Kakak itu tersenyum lebar.
“Mau ikut latihan?” tawar Kakak itu.
Amara menggeleng, Debi justru kilat mengangguk. Kakak itu melirik ke arah mereka berdua bergantian, lalu tawanya pelan pecah seketika.
“Latihannya gratis! Jangan khawatir,” ujarnya santai.
“Kok, bisa Kak?” tanya Amara, keheranan.
Kakak itu lalu mendudukkan dirinya di lantai yang bersih itu, tempat menari tadi. Tempat itu jika dilihat dari kejauhan memang nampak bagai pendopo. Kedua gadis itu ikut duduk juga di atas lantai yang dingin.