Papa masih terlihat terkulai lemas, di atas ranjang rumah sakit. Debi memperhatikkan sejak tadi. Belum mau beranjak. Hatinya terus terguncang. Ia penuh rasa bersalah.
“Debi .…” Mama menegurnya dengan suara lembut, seraya mengelus pundak Debi. Debi sendiri seolah tidak merasakan tangan Mama mengelusnya.
“Maafin Debi, Pah." terbata Debi pelan mengucapkannya. Entah tidak tau harus berkata apa.
“Kamu gak salah, Nak.”
“Tapi ini semua karena Debi, Mah!”
Mama diam, lalu menoleh kembali ke arah Papa yang masih belum sadarkan diri.
“Yang pasti, kita sama-sama doakan Papa cepat siuman,” ujarnya. “Menurut Dokter, Papa hanya pingsan. Jantungnya tidak berpengaruh,” sambung Mama lagi.
“Mungkin, Papamu kelelahan.”
“Karena, aku!” Timpal Debi menyela.
“Mama sudah bilang, jangan salahkan dirimu,” cetus Mama. Sambil membetulkan letak selimut Papa.
“Aku akan tetap di sini sampai Papa bangun.”
Awalnya ia akan meninggalkan rumah. Sekarang, Debi mengurungkan niatnya. Sempat tak terpikirkan sebelumnya, ini akan terjadi. Haruskah ia membatalkan jurusan yang diambilnya demi kesehatan Papanya? Debi masih bingung memutuskannya.
Debi melirik Mama, lalu beralih ke Papa yang masih tertidur. Pengharapan Debi adalah Papa cepat sadar dan siuman. Sudah sebelas jam, masih terbaring diam dan mata mengatup.
“Debi!” Suara Mama mengejutkannya yang tengah bergelut dengan pikirannya yang berperang di kepala.
“Lihat! Mata Papa bergerak.”
Debi segera mendekati Papa. Dan langsung memegang jemari Papa, erat.
“Pah." dengan suara pelan, Debi memanggil Papanya.
Perlahan kelopak mata Papa bergerak.
“Deb, Debi .…” Papa memanggil namanya terbata, hampir tak terdengar. Namun, Debi mendengarnya.
“Iya Pah, ini Debi. Pah! Maafkan Debi, Pah.”
“Pah? Papah? Pah!”
“Biarkan Papamu istirahat, Nak.” Mama menarik lembut tangan Debi untuk melepaskannya dari genggaman jemari Papa. Debi menurut.