Debi melangkah pelan keluar gerbang kampusnya. Sembari membayangi papa yang akan keluar dari rumah sakit. Ada rasa senang di dalam hatinya. Namun masih mengganjal, karena ia tidak mau membuat papa sakit lagi. Papa belum mengijinkan ia mengambil jurusan seni ini.
“Aduh!”
Debi terkejut sendiri. Ia tersandung batu yang tanpa disadarinya telah membuatnya terjatuh. Rupanya ia berjalan sambil pikirannya menjelajah ke mana-mana. Alhasil tidak melihat ada batu di depannya.
“Aw! Sakit!” ringis Debi. Menahan dengkulnya.
Padahal batu itu cukup terlihat menonjol, jika mata Debi jeli melihat langkahnya. Tapi ia tadi meleng. Tidak lihat jalan. Debi bisa bangkit sendiri, lagipula tidak begitu parah. Orang yang melihatpun tidak perlu membantunya.
“Apa, itu?”
Debi melihat tajam dan dekat sebuah kilauan kecil sekilas, tepat di mana ia tersandung. Debi cepat mengambil sebuah benda yang tadi sempat sedikit menunjukkan kilaunya.
“Oh, cuma jepit rambut.” Debi berucap dengan mimik biasa saja.
Debi mengambilnya juga, dan buruan ia masukkan ke dalam tas bagian depannya. Lalu cepat beranjak untuk bangun, mengibas-ngibaskan celana kulotnya yang berwarna hitam. Sedikit terkena tanah kering itu. Dengan mudah ia bersihkan, sekali usapan.
Dengan langkah tenang, Debi masuk ke dalam rumah. Dilihatnya, mama sedang menyuapi papa yang duduk di kursi roda. Kursi roda?
“Mah? Kenapa Papa di kursi roda gini, sih?” sekonyong Debi langsung bertanya.
“Sudah pulang?”
“Cepat ganti baju,” perintah Mama.
“Iya, Mah.”
“Makan sama-sama Papa di sini,” berkata Mama, sambil menyuapkan bubur ke mulut Papa sedikit demi sedikit.
Debi melihat sejenak ke arah papanya. Ia sedih melihat papa yang tidak bicara apapun. Jangankan menegurnya. Melihat dirinya barang sedikit saja tidak sama sekali.