Sudah hampir seminggu lebih Debi merasakan kuliah. Menyenangkan, dan Debi sangat menikmatinya. Apalagi sewaktu latihan menari. Tidak menyangka, ia bakalan merasakan puasnya belajar menari setiap hari.
Papa sudah semakin sehat. Sayangnya, harus memakai kursi roda terus. Papa tidak bisa berjalan. Jika harus berdiripun, butuh bantuan. Papa juga tidak bicara. Ia sama sekali tidak bisa mengucapkan kata-katanya dengan jelas.
Akibat stroke itu, papa jadi menderita. Bakalan duduk terus di kursi rodanya, entah sampai kapan.
“Maafkan Debi, Pah,” ucap Debi pelan, matanya sembari menatap kosong ke arah dinding kamarnya. Lalu, ia memejamkannya sebentar. Dan membukanya beberapa detik kemudian.
Debi meraih tasnya, hendak mengambil selendang yang berada di dalamnya. Debi mau latihan sendiri, biar nanti pentasnya tidak membuat Mbak Sugi kecewa.
Debi menarik selendang itu. Tapi sebuah benda kecil jatuh dari sela-sela selendang tersebut, ketika ia menariknya.
“Apa itu?” Debi perhatikan suara besi kecil jatuh.
“Loh, ini kan jepitan. Yang aku ambil waktu aku jatuh depan kampus.” Debi mengernyitkan kening memperhatikan benda itu.
“Ini jepit rambut? Ngapain juga aku ambil,” kata Debi, lalu meletakkannya di meja belajarnya. Jepit itu sudah cukup lama menginap di dalam tas Gebi. Sampai ia tidak menyadarinya. Tersangkut diselendangnya.
Debi mulai mengikatkan selendang batiknya, di lingkaran pinggangnya.
“Itu kok jepitan rambutnya, mengkilat sih?”
Debi lalu mengamati kembali, lebih seksama. Yang dilihatnya jepit itu masih bagus, hanya agak kotor terkena debu jalanan. Entah, ada yang membuangnya atau bisa jadi terjatuh. Hanya sebuah jepit rambut biasa.
“Kasihan.”
“Dia pasti nyari-nyari ini jepitan,” Debi berkata, namun matanya masih tidak lepas dari benda tersebut.
“Oh, pantas saja. Jepit ini rusak. Patah! Sudah pasti ini dibuang oleh pemiliknya,” ujar Debi, lalu mencoba menjepitkan di ujung poninya. Dan bercermin.
“Lucu juga, patahnya gak kelihatan.”
“Kalau dibersihkan, sepertinya akan lebih bagus, aku juga kelihatan manis memakainya,” pujinya pada diri sendiri.
Poni Debi memang agak sedikit panjang. Dia malas memotongnya. Seperti gak keurus. Debi tak perduli. Dengan menyelipkan jepit rambut itu, maka rambutnya sudah nampak rapi.
“Nah! Cantik juga. Jepitnya!” Debi terkikik sendirian. Jepitannya yang bagus, bukan dirinya yang cantik.
“Setidaknya, rambut lebih rapi terlihat.”
“Kenapa gak kepikiran olehku ya? Pake jepit rambut.”
“Kalau untuk latihan menari, setidaknya dengan jepit ini rambutku gak ganggu,” gumam Debi.
Mana mungkin juga, Debi kan jarang dandan. Boro-boro pakai jepitan rambut. Ternyata benar, jepit rambut bisa jadi pemanis.
Debi meletakkan jepit rambut itu di meja riasnya. Lalu bersiap untuk latihan sendiri di kamarnya. Menari.
Mengingat pentas yang ditawari Mbak Sugi. Tarian budaya Jawa, yang menceritakan seorang putri dan ksatria.
"Aku jadi putri? Tapi Mbak Sugi belum kasih tau aku jadi pemeran apa."
"Moga-moga bisa jadi putri, besok bakalan dikasih tau." Debi senyum-senyum sendiri. Membayangkan dirinya menari bak seorang putri.
Langkah awalnya, untuk serius menggeluti tari menari. Rasanya ada perasaan tak sabaran, di benaknya
Pulang kuliah, Debi rencananya mau ke gedung seni budaya, melihat Panji yang menceritakan dongeng untuk anak-anak.
Sudah sekian lama ia tak ke sana. Kebetulan ini jadwal harinya di sana. Mereka pun jarang sudah berkomunukasi.
“Aku, pingin banget lihat dia, dah lama gak ketemu, selama aku kuliah.”
Bersamaan dengan hal yang sedang ia pikirkan, teleponnya berbunyi. Ada pesan masuk. Ia lihat nama Amara terlihat.
Deb, ketemu ya di depan kampus, lo? Gue ke sana nanti.
Debi membacanya sambil senyum-senyum. Kebetulan banget ini. Debi langsung mengetikkan kata-kata balasan untuk pesan Amara.
OK. Gue mau liat Panji berdongeng. Ini jadwal dia baca dongeng buat anak-anak. Lo ikut aja ya.
Siap! Jawaban pesan Amara, sekaligus mengakhiri pesan tersebut.
“Kebetulan Amara, mau ikut temenin aku ke tempat Panji.”