Ketika suara itu mengingatkan akan sesuatu hal paling terindah. Maka, aku akan selalu ingin jumpa.
“Itu, Deb!” Amara tetiba berseru.
“Iya, lo masih inget ya ternyata wajah dia?”
“Inget dong! Familiar banget wajahnya,” sahut Amara antusias.
“Baru sekali ini kan lo liat Panji bacain dongeng kayak gitu?” tanya Debi lagi.
“Gue rasa dia sudah sering ya bacain dongeng di sini? Lalu menarinya gimana ya, Deb?”
“Mungkin dia lagi gak ada job pentas, Ra.”
“Sok tau, lo,” gumam Amara, sembari mendelikkan matanya.
“Eh, eh dia lihat kemari!” seru Amara.
Nampak Panji sekilat melihat ke arah Amara dan Debi duduk. Di lantai yang dingin beberapa meter dari Panji.
Dan melempar senyum ramah, sambil menganggukkan kepalanya. Lalu melanjutkan membacakan dongeng kepada anak-anak. Serta tetap memegang buku cerita.
“Dia ngeh banget, Ra. Karena gue kan pernah ke sini. Dan kebetulan lihat dia,” jelas Debi. “Gue juga kagum, nunggu sampai dia selesai,” terangnya lagi.
“Gue lihat, dia tampang-tampang penyabar,” celutuk Amara. Sok-sok an menebak.
“Bisa jadi sih, Ra.”
Mereka duduk di situ sekitar 15 menit. Kelihatannya sudah mau udahan. Anak-anak bubar satu-satu. Berpamitan dengan Panji.
Panji merapikan buku-buku dan atribut-atribut pendukung. Boneka-boneka berbentuk binatang dan macam-macam lainnya. Yang biasa dipakai oleh para pendongeng.
“Hai, Debi!” Panji menyapa.
“Panji.”
“Maaf menunggu lama.”
“Kita tadi habis dari kampus, lalu mampir kemari mas Panji, eh Kak, eh,” ucap Amara gugup.
Panji senyum-senyum.
“Panji aja,” sahut Panji segera.
Amara tersipu malu.
“Ohya, Deb. Sudah lama banget gak kemari loh,” Alih Panji.
“Sibuk di kampus,” jawab Debi singkat.
“Iya, ya. Kalian berdua baru masuk kuliah ya?”
“Bener, Panji. Dan aku sibuk belajar menari,” tukas Debi.
“Bulan depan ada pentas, dan aku diajak buat isi acaranya,” jelas Debi.