Debi tengah mencoret-coret buku catatannya. Isinya segala macam curahan hatinya. Tentang apa saja, ia tuangkan di sana. Campur aduk.
Sekarang ia menuliskan sosok Panji di dalamnya. Ini kali, berisi segalanya mengenai Panji. Apa yang tengah ia rasakan, apa yang sedang ia gundahkan.
Pemuda itu, sanggup membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Harinya dibuat untuk selalu terfokus pada dia. Seseorang yang kadang membuatnya nyaman, hanya dengan mengingat wajah dan sikapnya.
Panji sosok yang sangat teduh. Pemuda sopan yang pandai menari, suka mendongeng. Menunjukkan kalau dia penyabar.
Debi menoleh ke meja riasnya. Kilauan jepit rambut itu mengalihkan pandangannya. Debi meraihnya, lalu duduk di depan meja rias. Ia selipkan jepit itu di ujung poninya.
“Hem, cantik jepit ini.” Debi berkata sendiri sembari melepas pakai, mencari posisi yang bagus di kepalanya.
“Nah, kayak gini lebih bagus,” ujarnya diselingi senyum tipisnya.
Ia pun mencari-cari sesuatu di dalam tasnya. Selendang, yang biasa dipakainya menari.
“Kalau dipadukan ketika aku menari, pasti akan makin lengkap.”
“Pakai jepit. Meski aku gak begitu suka memakainya, setidaknya poniku tidak mengganggu kalau lagi latihan,” gumamnya.
Debi mengikatkan selendang, di pinggangnya yang ramping. Sudah itu, ia memutar musik gamelan. Dan mulai menari.
Dengan mengingat gerakan-gerakan yang diajarkan mbak Sugi, Debi melayangkan kedua tangannya dengan gemulai.
Terus dan terus ia menari, tanpa jeda sedikitpun. Alunannya juga belum berhenti. Debipun terus bergerak tak ingat apapun.
Sesekali ia melihat cermin, karena Debi menari di depan meja riasnya. Yang memang lumayan besar. Sehingga tubuhnya terlihat ketika menari.
Jemarinya lentik, gerakannya gemulai, pandangannya hanya fokus ke tubuhnya. Mengikuti irama alunan lembut gamelan. Semua yang diajarkan mbak Sugi dilakukannya dengan mudah.
Debi tidak merasa kaku, lenturnya ia rasakan sekali. Debi merasa seolah sudah lama menari. Ia begitu mudahnya mengangkat, mengayun, melempar selendangnya dengan lembut.
Hingga menuju irama terakhir, Debi masih menari dengan begitu lembut. Semua tubuhnya terolah dengan lentur, mengikuti irama.
“Selesai!” seru Debi pelan.
Debi mendekatkan dirinya ke cermin.
“Aku, aku bisa melakukan semua ini? Sampai selesai!” teriaknya, heran.
“Aku bisa?” Debi mengulang pertanyaan itu, ia tidak percaya dengan yang barusan dilakukannya.
Debi mengingat, jika latihan di kampus kesulitannya dalam menari sangat dirasakannya. Hingga membuat mbak Sugi gemas. Karena Debi kaku sekali.
Tapi ini? Ia melakukannya hingga rampung. Sampai musiknya habis? Dan gerakan yang diajarkan, Debi lakukan dengan baik. Tanpa ada yang salah, dan tertinggal.
“Ini pasti mimpi!”
Debi menepuk pipi kanan kirinya lumayan keras.
“Awww… sakit!” ringisnya.
“Ini benaran! Aku bisa!”
Debi melonjak-lonjak tinggi di kamarnya. Tidak percaya, namun girang.
Ia kembali membuka buku catatan hariannya. Menuliskan kata-kata seolah diperuntukkan kepada Panji.