"Mas, masih kerja, to? Aku wes ngantuk, loh," Lila mendesah di telingaku. Ujung gaun malam transparan miliknya sengaja dia sibakkan, membuat paha seputih pualamnya mengintip saat menempel di pahaku. Meski sudah menikah lebih dari sepuluh tahun, tapi gestur Lila seperti itu masih saja membuat darahku berdesir kencang. Asem!
"Sebentar lagi, yo. Nanggung ini." Aku pura-pura jual mahal. Mendelik dengan sebelah mata, aku tersenyum kecil menyaksikan wajah istri tercintaku cemberut. Paras oval cantiknya sedikit memerah. Bibir mungilnya maju beberapa senti. Sebenernya makin bikin aku gemas dan tidak bisa berkonsentrasi pada deretan huruf di layar laptop. Tapi kejahilanku belum selesai. Aku masih ingin mengerjainya.
"Yakin gak mau sekarang?" Suara desahan Lila semakin rendah seiring embusan napas hangat dari hidung dan mulutnya mencapai telingaku. Sedikit berjongkok untuk menyesuaikan posisiku yang sedang duduk di belakang meja, tangannya dengan berani menyusup ke dalam kemeja lalu merambati dada. Sebelumnya, jemari lentik Lila sudah berhasil melucuti beberapa kancing terlebih dulu dan meluruhkannya. Jemarinya terus bergerak ke bawah, ke perut, semakin ke bawah ....
"Hmm," Aku menjawab datar. Pura-pura tidak terpengaruh. Padahal, darahku sudah mencapai titik didih tertinggi. Kepalaku rasanya mau meledak. Seandainya tidak kutahan, tubuhku barangkali sudah mengejang dari tadi.
Duh! Mudah-mudahan saja jantungku yang juga hampir terlewat satu detakan karena perbuatannya, tetap aman terkendali. Aku berdoa dalam hati, semoga tetap kuat menahan godaan ini. Alih-alih berhenti, bibir Lila ikut-ikutan menggila, mulai menggigiti lembut kulit punggungku yang polos sementara jemarinya tetap tidak bisa diam.
"Ahh ...." Tak tertahankan, satu lenguhanku akhirnya lolos. Namun, aku tetap bergeming. Tidak berusaha juga untuk menahan ataupun mengantisipasi 'serangan-serangan' selanjutnya. Pokoknya harus jaim. Jaga image. Biar tidak ketahuan aku selemah itu terhadap godaannya.
"Ya, sudah. Kalau kamu masih lama, aku ganti daster aja—" Tanpa aba-aba, Lila menghentikan gerakannya. Dia melangkah dari belakang, kemudian berdiri tepat di depanku, hampir tidak berjarak. Dia melungsurkan gaun tidurnya sendiri dengan sekali entakan. Sontak tubuh semampainya yang masih terbentuk seperti seorang gadis belia meski sudah memberiku dua anak, seorang putri dan putra, terpampang sempurna di depan mata.
Aku menelan ludah.
Tubuhku seketika membeku. Seluruh panca inderaku membungkam. Namun, tanpa bisa kucegah, sesuatu bergerak, mengeras, dan terasa bertambah sesak di bawah sana.
Aku merutuk diri sendiri. Mau mengerjai kok malah dikerjai duluan! Asem tenan!
Lila tertawa renyah. Mungkin merasa menang karena berhasil menggoda dan mengalihkan perhatianku. Suaranya yang mirip desau angin itu makin membuatku tidak sanggup lagi menahan diri.
Ah, persetan dengan pekerjaan ini! Aku paham risikonya bekerja dari rumah. Salah satunya, ya, begini ini. Pekerjaan tambahan tak terduga pasti bakal terjadi. Sebuah praktik pelajaran kama sutra yang sudah khatam kami pelajari bersama.
"Awas kamu, ya! Mau menantang aku? Lihat saja pembalasanku!" Aku berseru dengan napas memburu di antara derai tawa kami berdua.