"Aluna Pradna Paramitha." Aku mengeja sebuah nama yang lewat di berandaku pada sebuah aplikasi kencan daring. Atas desakan seorang teman, aku terpaksa memasang aplikasi ini di ponsel. Awalnya, hanya untuk menghargai kebaikan hatinya yang sudah mau mendengarkan curhat-curhatku selama ini. Namun, berbincang dengan teman-teman dari dunia maya itu ternyata tidak seburuk seperti diceritakan banyak orang.
[Hai, aku Fabian. Boleh kamu panggil Bian saja. Salam kenal, ya]
Memberanikan diri mengetikkan sebuah pesan, aku memulai obrolan. Profilnya sebagai penulis, cukup membuatku tertarik untuk dapat mengenalnya lebih jauh, selain parasnya yang juga lumayan manis. Aku akui, memang tidak mudah mendapatkan seorang teman dengan hobi dan profesi sama-sama sebagai penulis di aplikasi semacam ini. Oleh karenanya, tidak salah kalau aku mencobanya.
[Hai. Aluna. Salam kenal juga]
Dia membalas. Aku seperti melihat profilnya sedang tersenyum padaku.
Hatiku menghangat.
Setelah pertanyaan-pertanyaan standar di awal perkenalan dan sekilas alasan sampai aku 'tersesat' di aplikasi ini, aku dan Aluna mulai terlibat percakapan cukup seru. Obrolan yang jarang, bahkan belum pernah aku dapatkan dari seorang teman baru, di dunia maya pula.
Maka, aku mencoba menggali lebih dalam.
[Aku lihat di profil, pekerjaan kamu adalah penulis. Suka menulis apa?]
[Oh, iya. Kamu juga, ya?] Sebuah emotikon kepala kuning tersenyum lebar kemudian dia sematkan. [Aku penulis fiksi, tapi sedang hiatus. Masalah dunia nyata terlalu berat untuk sekadar dikhayalkan seperti dalam cerita-cerita novel.]
Aku kemudian memberinya emotikon tertawa sebagai respons atas kata-kata indahnya. Tanpa sadar, senyumku terukir. Hmm, boleh juga.
Dan entah dari mana keberanian ini datang, alih-alih bertanya hal-hal lain, aku malah melemparinya dengan balasan puisi.
[Aluna,
Hidup ini seperti pensil. Yang pasti akan habis. Namun, aku akan meninggalkan tulisan-tulisan yang indah dalam kehidupan. Kuharap, kamu bersedia membantuku merekam semesta yang senang bercanda ini.
Menulislah tentang hidupku. Berceritalah tentang asaku. Karena aku lelah menulis tentang lelaki yang punya kasih tanpa batas, tetapi terbatas untuk memilikinya.]
Lantas ada beberapa menit terjeda.
Aku pikir, Aluna mungkin sedang tertawa atau malah bersemu merah wajahnya. Jadi, aku biarkan saja, hingga akhirnya beberapa menit kemudian aku melihatnya mengetik balasan.
Mungkin dia akan memberi emotikon tertawa lagi, atau menangis, atau malah emot muka kuning dengan mata berbentuk hati? Siapa tahu?
Akan tetapi, balasannya sungguh membuat mulutku membuka, membentuk huruf "O" tanpa sengaja.
[Bian,
Aku tidak sedang bercanda ketika semesta mengajakku pada sebuah tempat di mana para perindu berjumpa. Aku sedang membunuh sepi yang terus menggerogotiku diam-diam saat mencintainya adalah keputusan salah yang pernah kubuat.
Hingga di suatu masa, ujung jariku menebarkan aksara pada satu sosok yang terlihat hampa jiwanya.
Jiwa yang meronta dalam kesunyian yang sama]
Ini benar-benar edan! Jawabannya sungguh di luar dugaan. Aku makin penasaran. Sejenak, aku lupa pada kesedihan yang biasanya tak pernah jenuh datang.
Coba lagi, ah.