JERAT

Nyonya Maneh
Chapter #4

CHAPTER 3 - JUMPA PERTAMA

Seseorang pernah bilang padaku, laki-laki yang belum selesai dengan masa lalunya, tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup. Ini sungguh menyeramkan. Bagaimanapun, aku tetap harus hidup. Bukan hanya karena aku masih diberi napas oleh Sang Pemberi Jiwa, tetapi karena Kitty dan Axel masih butuh aku untuk membimbing dan mengawal langkah kecil mereka.

Kesadaran itu yang kemudian menghajarku untuk segera bangkit dari hari-hari berkabung sepeninggal Lila.

Aku menuliskan sebuah puisi cinta untuk almarhumah terakhir kalinya. Puisi berisi janji sekaligus pamit, mengikhlaskan kekasih hati berada tenang di sisi Sang Empunya, juga permohonan izin untuk kembali membuka hati pada siapa pun wanita yang ditunjukkan semesta menjadi penggantinya. Langkahku pun menjadi lebih ringan sekarang.

"PADA AKHIRNYA, ALAM SEMESTA TELAH MENYELESAIKAN TUGASNYA DAN AKU TAK MAMPU MELAWAN KONSPIRASI TENTANG UJUNG CERITA DUA ANAK MANUSIA YANG PERNAH BERJUANG BERSAMA DALAM SATU GENGGAMAN...."

Aku masih terus mengingat penggalan puisi itu, meski sudah berbulan-bulan lalu kutuliskan, bahkan kuabadikan dalam sebuah format video. Tentu dengan balutan gambar-gambar bergerak terakhirku dengan puluhan foto wajah cantik istriku.

"Papa ke butik dulu sebentar, ya, Nduk. Ada yang Papa harus ambil. Setelah itu, baru kita ke Planet Olah Raga, beli sneakers baru untuk kamu."

Aku menutup layar ponsel setelah memberi Kitty sebuah senyum dan sun jauh untuk mengakhiri panggilan videonya.

Semarang di pukul sebelas pagi ini belum terlalu terik. Jalanan pun tidak begitu padat. Hanya butuh tiga puluh menit berkendara dari lapangan badminton tempatku biasa menghabiskan waktu berolah raga, akhirnya tiba juga aku tepat di depan butik bertuliskan 'Lalita Galery.' Sebuah sign board berwarna pink kejut dengan gambar siluet dua perempuan ramping masing-masing menenteng beberapa paper bag segera menyambut penglihatanku.

"Siang, Mas Bian. Akhirnya sampai juga." Suara lembut seorang perempuan menyapa dan membukakanku pintu.

Aku tersenyum lebar setelah mengucapkan terima kasih.

"Halah, pake dibukain pintu segala, loh. Seperti tamu kerajaan aja," Lita, salah satu pemilik butik yang adalah sahabat almarhumah istriku itu terkekeh. "Mas kan memang tamu istimewa Lalita. Wajar kalau diperlakukan luar biasa juga."

Aku hampir tersedak ludahku sendiri mendengar pengakuan jujur Lita.

Lalita Galery memang butik yang dulunya didirikan istriku dan sahabatnya. Nama Lalita juga selain berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti cantik, juga merupakan gabungan nama para pendirinya: Lila Anggita, istriku, dan Lita Amelia.

Sudah lebih lima tahunan butik ini berdiri dan dijalankan berdua. Namun, setelah kematian Lila, aku mempercayakan pengelolaan butik sepenuhnya pada Lita. Sesekali saja aku datang mengecek sekaligus menerima laporan keuangan dan kegiatan usaha mereka. Termasuk apabila ada hal-hal penting yang harus kami bicarakan sehubungan dengan pengembangan atau kebijakan butik. Seperti hari ini, selain akan mengambil undangan pernikahan salah seorang kerabat Lita, kami juga berencana membicarakan program pagelaran busana dalam rangka hari ibu, beberapa bulan mendatang.

"Oh, gitu. Sepatuku ndak dibukain sekalian?" selorohku menanggapi kelakar Lita yang disambut gelak tawa beberapa karyawan butik.  

Lihat selengkapnya