Ningsih melangkahkan kaki dengan berat, keluar dari kamar. Seluruh badannya terasa sakit dan remuk redam. Namun aneh, tidak ada bekas luka apa pun. Samar-samar kembali teringat kejadian semalam.
'Andai aku tidak mengikuti saran temanku itu,' batin Ningsih bergejolak.
Ningsih berjalan pelan-pelan dengan langkah yang gontai.
'Ahh semoga benar, Jin yang semalam menikah denganku semoga bisa membawa kekayaan untukku. Aku sudah muak hidup bersama Mas Agus dengan segala kesusahannya,' gerutu Ningsih dalam hati.
Agus adalah suami Ningsih. Mereka menikah sudah tiga tahun dan memiliki seorang putra berusia setahun, bernama Wahyu Putra Sadewa. Sengaja Ningsih menyuruh Agus untuk mengajak Wahyu ke rumah neneknya di desa sebelah agar dia bisa melakukan ritual itu.
Ya, ritual - Menikah dengan Jin - yang diajarkan oleh teman Ningsih, bernama Ratih. Ratih sudah melakukannya dan menjadi kaya raya setelah menikah tiga kali dan suaminya meninggal semua. Ratih mengajak Ningsih melakukannya dengan ketentuan jika menikah dengan Jin maka setiap suami meninggal, harta kekayaan akan bertambah.
Jangan ditanya lagi, ini jelas sesat! Karena nyawa suami sebagai pengganti harta yang Jin itu berikan. Tidak hanya itu, menjadi budak napsu Jin juga wajib dilakukan setelah ritual itu dimulai.
Himpitan ekonomi membuat Ningsih putus asa. Semalam ritual itu sudah dilakukannya. Jin yang dinikahinya tak berwujud. Dia hanya bisa merasakan kehadiran dan sentuhan Jin tersebut. Suaranya pun terdengar. Ningsih begitu menikmati permainannya, terasa sangat nyata!
Menurut perjanjian, pagi ini Ningsih akan menerima sejumlah uang dan emas di dalam tudung saji yang semalam berisi sesaji (bunga dan menyan). Ningsih bergegas mengecek ke dapur.
'Awas saja kalau Ratih bohong padaku!' batinnya dengan sedikit ragu.
Ningsih terkejut membuka tudung saji. Uang! Uang! Emas! Entah berapa lembar uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan berjejer bersama beberapa emas. Ningsih segera mengambil plastik hitam (kresek) dan memasukkan semua ke dalamnya. Ningsih takut Agus curiga. Setelah menyimpan kresek yang penuh tersebut, Ningsih pun dikagetkan dengan suara orang berteriak di depan rumah.
"Ningsih! Ningsih!", seru orang di luar rumah.
Rumah Ningsih masih semi kayu. Pintu pun sudah keropos. Itu yang membuat tamu enggan mengetuk pintu rumahnya.
Ningsih bergegas keluar, saat pintu dibuka, banyak tetangga datang. Terlihat beberapa orang menggotong seorang yang dia kenal.