Mentari berada tepat di atas kepala, udara panas berkombinasi dengan pemandangan jalan yang padat, dengan banyaknya orang berlalu-lalang. Semilir angin tidak terlalu terasa. Akan tetapi, tak menyurutkan niatnya untuk pergi ke pondok atas permintaan Andin, ibunya agar bisa membantu keluarga sepeninggal Hari, ayahnya. Ana yang belum bisa menghilangkan kesedihannya, bergegas pergi seorang diri. Ada perasaan sedih karena tidak bisa menyelesaikan pendidikan di pondok tersebut. Bahkan, dalam perjalanan dari Bekasi, sesampainya di kereta, ia hanya duduk terdiam dengan hati yang terasa hancur.
Pemandangan yang terlihat, saat bersandar di bangku dekat jendela, membuat Ana teringat akan kedatangannya pertama kali ke pondok pesantren. Dulu, tak pernah terlintas di benaknya untuk melanjutkan sekolah karena melihat perekonomian keluarga yang kurang berkecukupan.
“Ana, kamu mau lanjut sekolah di mana?” tanya Sinta teman SMP Ana.
Ana hanya terdiam tanpa sepatah kata pun. Hingga Mika berseru.
“Kalau aku, mau minta sama ibu, buat dimasukkan ke pesantren saja.”
Kemampuan finansial keluarga Ana lemah. Karena harus menyekolahkan satu adik perempuan dan satu adik laki-lakinya. Bahkan memenuhi susu untuk adik perempuan kecilnya, orang tuanya masih harus lebih berusaha untuk bekerja memenuhi kebutuhan dan keperluan keluarga.
Di saat perjalanan pulang, di pikirannya hanya terlintas bagaimana membantu meringankan beban kedua orang tuanya. Sesampainya di rumah, Ana dikejutkan oleh kedatangan tamu dari Jawa, lebih tepatnya Nyai Ainur dan Abah Akhmad mereka bersilaturahmi dan menuturkan niatnya datang berkunjung.
“Niat Abah, ke sini mau menawarkan Ana, untuk mondok di Jawa?” tanya Andin dengan raut wajah tampak berbinar, ketika Abah Akhmad mengutarakan niatnya untuk ikut membantu pendidikan Ana.