Setibanya Ana, Hari, dan Abdul di Stasiun Bekasi, ketiganya pun berjalan memasuki gerbang. Di sana, terlihat banyak kendaraan yang tertata rapi di parkiran. Maklum saja, stasiun ini menjadi salah satu stasiun kereta tersibuk di Bekasi. Tak lama kemudian, Hari—ayah Ana—berjalan ke arah loket untuk membeli tiket, sedangkan Ana dan Abdul duduk di kursi tunggu sembari menjaga barang bawaan mereka.
“Aa sama Ayah, anter ana sampai mana, A?” tanya Ana penasaran, melihat tak sedikit pun barang bawaan untuk Abdul dan Hari.
“Aa, enggak ikut, Na.”
“Kenapa, A?”
“Kamu tahu sendiri, untuk makan saja sulit, jadi Ayah cuma bisa beli tiket kereta buat kamu saja,” jawab Abdul menegaskan pada Ana.
“Iya, A, Ana mengerti.”
“Ya, sudah jangan dipikirkan. Ayo, kita ke Ayah, mungkin Ayah sedikit lagi kelar beli tiketnya.”
Ana mengikuti langkah Abdul menghampiri Ayahnya, ada perasaan kecewa karena harus pergi seorang diri ke tempat yang asing.
Tentu saja, Ana akan merindukan pagar besi di luar jendela kaca kecil miliknya pasti akan sangat Ana rindukan. Harapan Ana kelak Menyuguhkan kebahagiaan kepada keluarganya yang sekarang ditahan ketidakmampuan.