Berat sekali rasanya Ana untuk mengikuti perintah, nyai Ainun selama di pondok, apa lagi saat ia menyuruh Ana mencuci semua selimut milik semua anak santri. Jika Ana lupa atau pun tidak sempat mengangkat jemuran di kala hujan, Ana harus menerima hukumnya yaitu tidur tanpa selimut.
Hanya beralasan lantai dan dinginnya malam. Nyai Ainun orangnya tegas semua omongannya tidak boleh dibantah. Hal itu membuat semua penghuni pondok pesantren merasa takut.
Selesai salat Maghrib, kami semua berkumpul di ruang tengah tepatnya dekat asrama putri. Karena ada hal penting yang akan, nyai Ainun bicarakan.
"Kalian semua tinggal di sini, bebas melakukan kesukaan kalian, asal yang positif!" suara, Ainun memecah keheningan.
"Tidak ada acara minggat-minggatan lagi, faham!" Ainun menegaskan kata minggat sambil melirik, tika.
"Faham, Nyai!" Kami menjawab kompak.
***
Tidak terasa sudah sebulan Ana tinggal di pondok, Ibu. Ana sudah mulai rindu dengan keluarganya, karena jika di rumah ia akan selalu punya banyak cerita untuk berbagi bersama adik-adiknya.
Tidak terasa air mata menetes, Ana sangat rindu dengan suasana di rumah.
"Yasa ...!'' Ana memanggil, Yasa. Tapi dia tidak mendengar, karena dia sedang sibuk membaca.
"Yasa ...," Dia tetap diam, kuulangi lagi kali ini lebih keras.
"Yasaaaaa ...! Budek amat sih!" emosi nih udahan.
"Apa sih, Dek. Ganggu orang aja!" jawabnya sewot.
"Lagi ngapain, Yasa?" Ana merendahkan nada bicaranya agar, Yasa mau menyimpan bukunya dan mengobrol dengannya.