Setiap hari Ana sudah jarang bertemu keluarganya, juga bertegur sapa meski seadanya lewat telepon. Akan tetapi, kerinduan tak melulu soal jarak. Kerinduan yang menyusup tanpa permisi, membuat Ana sangat bersemangat saat di antar oleh Encing Nuni bertemu keluarganya.
Setiap pagi, Ayah ada di kebun. Bergelut dengan lahan yang luasnya tak seberapa hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sebagai pelipur lara dengan kerasnya kehidupan.
Selesai bertemu Andin dan saudaranya, Ana pun pergi menghampiri Hari, ayah Ana, perasaan senang tak dapat Ana ungkapkan. Sesibuk apa pun Hari, baik saat berkebun atau pun saat mengais rupiah dengan becaknya. Hari, tidak jarang mengajak anak-anaknya bicara atau bercerita.
“Ayo, Kak,” ajakan Ara, memecahkan kumpulan kejadian yang tadi berputar dengan rakusnya. Karena selalu merangsek jika ada sedetik waktu yang Ana miliki tidak digunakan untuk apa-apa.
Demi mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dari speaker mushola yang sudah memecah keheningan tempat tinggal mereka, Ana berlalu permisi pada kenangan yang sempat singgah. Meninggalkannya begitu saja, walau sangat yakin beberapa jam kemudian Ana akan datang lagi.
Selepas melaksanakan salat isya, Ana dan Ara pulang. Mereka berdua selalu pergi ke mushola sebelum magrib, dan kembali ke rumah selepas melaksanakan solat isya berjamaah. Berada di rumah Tuhan, Ana selalu merasa nyaman.
Namun, kenyaman itu langsung hilang jika Ana sudah berada di rumah. Melihat Ayah yang begitu nyenyak mengistirahatkan tubuh. Iya, Ana tau. Ayah bekerja. Berangkat pukul 7 pagi dan kembali ke rumah pukul setengah enam sore. Memanggang tubuhnya dibawah terik sepanjang hari, untuk mengatarkan setiap orang yang butuh jasanya. Hingga sampai tujuan, dengan penghasilan yang lebih sering habis di pertengahan bulan.