Seminggu tidak terasa, akhirnya Ana kembali lagi ke pondok. Udara malam yang dingin mencumbu seraut wajah jelita di bawah berkerudung abu-abu yang sedang mengarah pada lembah gelap di luar pagar pembatas pesantren, yang jika siang hari selalu menampakkan pemandangan indah persawahan.
Tak asing Ana dengan pemandangan seperti itu karena di kampung halamannya dulu, pemandangan seperti itu yang tak jauh berbeda kerap kali dilihatnya. Di sini, di tempat yang jauh dari sanak keluarganya, Ana mencoba menjalani hidupnya yang kemarin terkungkung oleh masalah perekonomian dan pribadinya. Di tempat yang selalu berhiaskan qalam-qalam ilahi, Ana coba mencari jati diri dan cinta sejatinya, berharap sebuah kaligrafi indah dari satu nama lelaki akan hadir seiring waktu yang berjalan menyertainya.
Banyak yang Ana dapatkan sejak tinggal di Pesantren AL. Ma’ruf. Ana merasa hadirnya berarti karena orang-orang di sekelilingnya amat menyayanginya. Lebih dari itu, sejak menimba ilmu di Pesantren, Ana menjadi salah satu santriwati kesayangan Kiai Akhmad; pengasuh pesantren yang ternyata sahabat dari sang ayah yang sekarang sudah menjadi pengasuh pesantren di daerah Jawa. Lebih dahsyat lagi, baru saja enam bulan tinggal di Pesantren, Ana berhasil merebut juara lomba ceramah. Keberhasilannya itu mengalahkan Desi, santriwati asal setempat dan Fikri, yang juga santri asal setempat, yang dari tahun ke tahun sejak mereka nyantri di pesantren tersebut selalu jadi juara hingga kerap jadi bahan pembicaraan para santri dan santriwati yang lain.
Sangat tak mau Ana berbangga hati, Apa lagi sebelumnya Ana juga pernah kalah dalam lomba bayyati Qur'an atau seni baca al-Qur'an. Sejak kehadirannya di Pesantren Al. Ma'ruf, pesona sosok ciptaan Tuhan yang ada pada dirinya semakin memancar dahsyat, mengiringi prestasi yang diraihnya. Ana pun menggeser posisi Desi sebagai bidadari AL. Ma'ruf, hingga para santri beralih hati diam-diam, mendamba untuk bisa menjadi pendamping hidupnya.
***