“Ah, berat. Untuk mengurus hidup saja aku masih kesulitan bagaimana bisa membantu orang lain, sementara tanpa setahu mereka, penulisnya sendiri sedang terkungkung dalam kegelapan beban hidup sendiri?
“Cobalah dulu, jangan langsung memvonis seperti itu.”
“Aku memang bisa menulis non fiksi sedikit-sedikit. Tapi, tak punya keberanian untuk mengirimkannya ke penerbit. Aku tidak mau kisahku dipublikasikan. Cukup aku dan orang-orang terdekatku saja yang tahu.”
“Bukankah kau ingin mencintai Allah dan Rasul-Nya?”
Ana menoleh dan kerutkan kening.
“Maksudnya?”
“Kalau aku kasih saran, dengan menulis pengalaman hidupmu yang hebat itu, apalagi dibubuhi dengan qalam-qalam Allah, aku rasa bisa jadi media dakwah dan menjadi tangga untuk kau menggapai keinginanmu membahagiakan keluargamu. Orang yang membacanya akan terkesan. Bahkan, mungkin akan terinspirasi. Dan, pahalanya akan jatuh padamu. Bisa jadi kau yang lebih dulu dicintai Allah.”
Ana langsung tercenung, hati kecilnya berkata, dirinya paham akan hal tersebut. Kadang, cinta Allah kepada hamba-Nya selalu ditunjukkan dalam bentuk kesakitan, kehilangan, dan kekecewaan. Tapi, sejujurnya pula, ia akui belum sanggup membahagiakan keluarganya.