Enam bulan sekali atau jika ada libur panjang, Apta selalu mudik ke Jawa dan selalu tinggal cukup lama sampai habis masa liburan. Karena itulah, ia tetap dekat dengan para santri disamping sikapnya yang ramah dan tidak sombong.
Baru sekali ini Ana melihat lelaki segagah Apta selama tinggal di pesantren. Di dalam hati, ia bertanya-tanya siapa gerangan lelaki itu.
Apta pun yang melihat para santri di sekeliling langsung tertegun begitu melihat sebagian wajah Ana di bawah kerudung abu-abu yang sedikit tertimpa cahaya matahari. Hatinya langsung bergetar dan mendadak seperti lupa pada situasi sekitar.
“Gus ..., Gus Apta ...,” tegur Bena sahabatnya, agak ragu.
“Ehm. Maaf. Ada apa?”
“Ayo kita masuk, sudah ditunggu Kiai di dalam," ajak Bena.
“Ayo,”
Sejak pertama kali melihat Ana, gadis yang belum ia kenal di siang itu, Apta sering menyendiri di balkon rumahnya, menatap jauh ke seberang danau kecil di mana terdapat jajaran pondok santriwati. Satu pondok yang di halamannya tumbuh pohon jamblang selalu Apta pandangi.
Di dalam pondok itu, ada satu hawa yang langsung menarik hatinya hingga selalu berharap bisa dekat dengannya, seperti energi magnet yang bisa menarik, namun tidak tampak bentuknya seperti apa.