Sesampainya di rumah, Ana berjalan menyusuri trotoar pertokoan favoritnya dulu, langkahnya terhenti di tengah jalan. Dan, ah, ia ingat toko yang satu ini. Tak ada yang berubah. Ia selalu menyukai bentuk dan warna bangunan tua itu.
Ana berdiri agak lama di sana. Ia ingat, dulu di depan toko ini membentang jalan yang ramai. Tapi ajaib, sekarang jalan raya itu lenyap dan telah berganti menjadi sebuah masjid. Trotoar pertokoan itu juga dihadang dinding masjid.
Ana kehilangan susunan kenangan yang awalnya sudah berhasil ia bangun. Itu sejenis kehilangan yang dialami saat ia baru bangun tidur dan merasa nyaris berhasil mengingat mimpi.
Hingga kemudian faktanya Ana tak pernah mampu mengingatnya sepenggal pun.
Ia memutar badannya dan berjalan meninggalkan toko buntu itu. Dari kejauhan ia mendengar kumandang azan, membuat langkah Ana yang lambat dipercepat agar segera sampai rumahnya.
Saat langkah Ana sampai di depan rumah. Hawa dingin yang biasa menusuk pori-pori tubuhnya. Meski jaket kulit yang Ana kenakan sudah ia rekatkan sedemikian rupa. Tetap saja, masih terasah kedinginan saat di pondok pesantren kini tak terasa lagi.
Ana mencium aroma petis yang entah dari mana asalnya. Juga ia melihat para tetangga yang sedang duduk di depan rumahnya. Ada juga yang ditemani istrinya. Tak luput mereka menegur Ana, Ana pun membalas dengan senyum yang tersirat dari wajahnya.
Apa yang saat ini Ana lihat, merupakan pemandangan yang sudah biasa terjadi di tanah kelahirannya. Tapi tak dapat dipungkiri, karena Ana merindukan pemandangan yang seperti itu. Lagi-lagi ingatan Ana terlempar jauh menuju masa kanak-kanak. Ana mempercepat langkahnya. Ia sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan Andin, ibunya, untuk melepas kerinduan yang selama ini sudah mengunung.
Selang beberapa menit, Ana sampai di halaman rumahnya. Ia melihat asap yang mengepul di bagian belakang rumahnya. Pasti Andin, ibunya sedang memasak di dapur, pikir Ana. Lekas ia pergi ke belakang rumah.