Jeremba Asmaraloka

Mutiah Anggerini
Chapter #18

#18 GERETAK TUTS

Hari menatap pintu rumah. Di baliknya adalah jalan sempit di depan rumah. Ia membayangkan jalan hidup keluarganya, dan pikiran Hari seperti sedang mulai mengetik dengan sebuah mesin ketik tua yang bunyinya seperti anak kuda berderap-derap di atas aspal panas sebuah kota hantu. Tiap geretak tuts merangkai huruf jadi kalimat, paragraf, bab, kumpulan, sehingga jadi cerita sebelum di bagian akhir bisa ia tulis: Tamat.

Hari tahu, waktunya akan segera habis, dan sebelum semua itu terjadi, ia telah menjelaskan pada istrinya. 

"Agar kuat dan bisa membesarkan anak-anak mereka kelak seorang diri."

Andin berdiri, pikirannya seakan melangkah menuju pintu depan. Ia tempelkan telinganya pada daun pintu dan mendengarkan bunyi di baliknya. Suamiku, sepi ternyata bisa menimbulkan bunyi. Jalan sunyi sedang mencoba bersuara. Suamiku tidak akan benar-benar pergi.

Sudah delapan belas tahun mereka menjalin sebuah hubungan percintaan dengan suaminya itu.

Ana ingat kali pertama cerita orang tuanya yaitu Andin, ibunya bertemu dengan Hari, ayahnya di bangku taman di tengah kota—tak terlalu jauh dari pasar. Ana ingin jadi penulis bukan gemar mengingat-ingat. Akan tetapi, Ana menulis untuk melupakan. Ia pikir, berjalan-jalan di taman dapat memutus kebuntuan. 

Ia sedang kehabisan ide karena rasanya semua hal mulai terlupakan. Kenyataannya tidak selalu begitu. Otaknya tetap buntu sehingga Ana putuskan untuk duduk di bangku besi tempa dan mulai membaca sebuah buku tipis yang ia bawa dari rumah. 

Angin sejuk berembus di taman.

Ana akrab dengan Andin, ibunya. Dulu Andin tidak suka jika Ana mulai membuat keributan dengan menyalakan musik keras-keras. Atau, ia berharap Ana bisa memperdalam ilmu agama, daripada mendengar musik saja. Entahlah.

Waktu Ana kecil, ia tak pernah membayangkan bahwa perjalanan hidup ini bisa terjadi—menempuh gang-gang kota yang selalu terasa asing, melangkah setapak-setapak menuju pucuk gedung-gedung, atau menyusuri dinding tebing di pinggir langit. Tak Ana sangka bahwa perjalanan adalah perihal-perihal kesunyian. 

Tiap langkah kaki adalah sedikit jejak yang mendekat pada ketakutan. Setiap hari adalah satu langkah untuk menjadi akrab dengan kehidupan. Semakin sering berusaha, semakin sering kesulitan teratasi. Setelah itu, Ana tak pernah keluar rumah. Hanya keluar untuk membeli makanan yang ia belikan untuk Hari, ayahnya yang sakit. Ana berpikir apa Andin, ibunya selalu kekurangan uang.

"Bu, apa yang Ibu pikirkan?"

Lihat selengkapnya