Dingin itu biasa. Hingga Ana temukan arti peluknya. Senyatanya kesedihan adalah Ana, perempuan yang kerap kesulitan dan berakhir dengan kegagalan. Terbiasa merasakan pahitnya hidup, hingga seolah hati telah khatam dalam kesabaran. Bahkan, semenjak hadirnya yang tanpa permisi, yang dengan pongahnya selalu datang di setiap malam berbintang menghampiri.
Pertemuan tidak sengaja atau mungkin takdir yang telah tertulis untuk ia jumpai? Di dalam keramaian, di tengah segelintir orang-orang yang menuntut ilmu, terlihat sosok seorang ustaz terpandang yang sangat Ana kagumi dengan senangnya mengajaknya berfoto bersama. Tak disangka hal tersebut sungguh membuat Ana senang seakan ada sosok penganti ayah.
Hanyut dalam lamunan, tanpa terasa Ana membuka telepon dari dalam tasnya, karena ada notifikasi dari Facebook yang menandai dirinya. Sungguh suatu kebanggaan bagi Ana bisa berdiri di samping orang yang sangat ia hormati. Sampai seseorang yang tak ia kenal meminta pertemanan, tak Ana tahu bahwa saat jarinya mengklik konfirmasi dapat mengubah jalan hidupnya.
***
Pertemuan pertama itu menjadi awal kisah barunya. Berawal dari saling tukar nomor telepon. Meski awalnya Ana tidak kerasan. Itu tak merepotkan sama sekali, tak perlu dibalas dengan apa pun, katanya. Hingga semua berjalan dengan manis. Berkenalan, berbincang-bincang atau saling tukar cerita aktivitas yang kami lalui.
"Say, pulang dari mengajar mau bareng, nggak?" tanya Nisa--teman baik Ana--di sela-sela kegiatan kelas terakhir.
"Nggak usah, deh, Nis. Ngga enak merepotkan kamu terus. Aku hari ini bawa motor, kok," jawab Ana asal.
Sebenarnya alasan Ana menolak ajakan Nisa bukan karena tidak enak kepadanya. Akan tetapi, Ana lebih memilih naik motor sendiri agar lebih cepat sampai ke rumah dan bisa berbalas pesan dengan Rendi--nama lelaki yang Ana kenal di Facebook beberapa waktu yang lalu--akan selalu menunggu. Hanya agar bisa berbalas pesan singkat dan meluangkan waktu menanyakan karakter masing-masing.